Sabtu, 22 November 2014


"HISTORIOGRAFI KOLONIAL"

A. Pengertian Historiografi
Historiografi adalah hasil dari sebuah penulisan sejarah, dengan apa yang dituliskan itulah sejarah yaitu histoire-recite, dengan sebagaimana dikisahkan, mencoba menangkap dan memahami histoire-recite, sejarah sebagaimana terjadinya (Taufik Abdullah, 1985). Senada dengan itu, historiografi atau historiography adalah penulisan sejarah (Suhartono, 2010: 175).  Pola historiografi adalah struktur gagasan yang ditentukan terutama oleh realitas utama. Penyimpangan yang keterlaluan dari realitas utama yang diamati dari luar ketika, misalanya, meneliti historiografi Jawa, memberi kemungkinan bahwa historiografi tidak berakar pada kebutuhan untuk menggambarkan realitas tersebut (Mohammad Ali, 1995: 13).
Historiografi Indonesia dari masa dulu telah mengalami perkembangan. Bermula dari historiografi tradisional, historiografi kolonial, historiografi revolusi dan yang terakhir berkembang adalah historiografi modern. Setiap perkembangan historiografi memiliki karakteristik, metode, dan motivasi penulisan yang berbeda, beda satu dengan yang lain. Situasi dan kondisi politik sangat berpengaruh pada penulisan sejarah.
Dalam masalah karakteristik historiografi kolonial dengan historiografi lainnya adalah penulisan dilakukan oleh sejarawan atau orang-orang kolonial/barat. Maksud setiap pembuatan historiografi kolonial dimaksudkan untuk menjadi laporan pada pemerintahan kerajaan Belanda untuk dijadikan bahan evaluasi menentukan kebijakan pada daerah kolonial/jajahan. Dalam historiografi kolonial memiliki sifat yang memusatkan pada sejarah bangsa Belanda dalam perantauannya, baik dalam pelayaran maupun pemukimannya dalam benua lain. Jadi yang primer ialah riwayat perantauan atau kolonialisasi bangsa Belanda, sedangkan peristiwa-peristiwa sekitar bangsa Indonesia sendiri menjadi skunder.

B.  Historiografi Kolonial
Historiografi kolonial adalah sebuah penulisan sejarah yang terjadi pada waktu penjajahan Belanda di Indonesia. Historiografi kolonial ditulis oleh penulis-penulis dari Belanda. Sumber-sumber yang dipergunakan ialah dari arsip negara di Belanda dan Jakarta (Batavia), pada umumnya sumber-sumber dari Indonesia diabaikan. Menurut Mohammad Ali (1995: 7), Sejarah kolonial pada umumnya menjadi kebanggaan bangsa yang pernah menjadi penjajah. Informasi tentang hal ini tersedia dalam berbagai bentuk, dan karenanya siap dipelajari sehingga dapat diselidiki dalam bentuk tertentu.
Menurut Kuntowijoyo dalam Taufik Abdullah (1985), historiografi kolonial tidak lepas dari jeratan Neerlanddosentrisme dan kolonialsentisme yang berkesinambungan, melainkan juga memberi ruang yang jauh lebih besar pada mereka yang tertindas dan termajinalkan untuk memiliki hak atas sejarah. Terinspirasi oleh Sartono Kartodirdjo yang menghadirkan petani untuk merepresentasikan hak sejarah orang Indonesia yang terabaikan dalam historiografi kolonialsentris, Kuntowijoyo melalui tanggung jawab keagamaan dan sosialnya selalu berusaha menghadirkan kenyataan sejarah dari masa lalu masyarakat yang tidak mendapat tempat dalam historiografi Indonesia sebelumnya, termasuk tulisannya tentang sejarah Madura.
Sejalan dengan itu menurut Van Luer pada tahun 1934 menjelaskan seperti diketahui bahwa selama masa kolonialisme, sejarah Nusantara ditulis oleh orang-orang Eropa khususnya Belanda. Mereka menulis sejarah Nusantara dengan menggunakan perspektif mereka sendiri sebagai orang luar atau sebagai orang Eropa.  Oleh karena itu aktor-aktor sejarah Indonesia justru didominasi oleh pelaku-pelaku sejarah yang berkebangsaan Eropa (Singgih, 2014: 32). Pada masa kolonial penulisan sejarah sebagai laporan perjalanannya di tanah jajahan, jadi yang dituliskan hanyalah orang-orang barat di tanah jajahan dan menggunakan sukuisme dengan merendahkan tanah jajahan (Syahdan, 2012: 1).
Jadi dapat kita perjelas dalam historiografi kolonial yang menonjol adalah para kolonial Belanda, hal ini dikarenakan para penulisnya adalah orang-orang Belanda sendiri, dalam penulisan tampak tidak ada pembahasan masalah orang pribumi. 
C. Tradisi Asal Mula Historiografi Kolonial
Kapan dimulai tradisi historiografi kolonial Belanda di Indonesia merupakan hal yang penting di bahas. Priode yang menjadi kajian utaman kapan historiografi kolonial berkembang merupakan kajian para sejarawan. Kajian sejarawan menjelaskan bahwa peran sejarawan kolonial dalam historigrafi dimulai priode kolonial sejak kedatangan bangsa Eropa datang ke Indonesia. 
Dalam buku Jan Luiten van Zanden yang berjudul “Ekonomi Indonesia 1800-2010 Antara Drama dan Keajaiban Pertumbuhan (2012),  menjelaskan: terbentuknya Hindia Belanda pada tahun 1816 setelah pemerintahan Inggris di bawah Thomas Stamford Raffles mengembalikan pulau Jawa kepada pihak Belanda. Dalam pembahasan pertumbuhan ekonomi Indonesia, Jan Luiten banyak mengkaji tentang tanaman ekspor Belanda, keungan Belanda dan sebagainya merupakan salah satu bukti historiografi kolonial.
Dalam hal ini kebanyakan historiografi kolonial lebih banyak di tulis di Belanda dan penulisnya tidak pernah berkunjung ke Indonesia dan sejarah yang di tulis dalam bahasa istilah sejarah atas geladak kapal atau gudang-gudang loji. Selain itu yang menulis mendapatkan data-data dan informasi dari para pejabat pribumi dan pejabat kolonial ((http://clio1673.blogspot.com/2013/01/jc-van-leur-abad-ke-18-sebagai-kategori.html, diunduh pada Minggu 26 Mei 2013).
Historiografi kolonial berlangsung sampai tahun 1942 dimana sebelum Indonesia merdeka. Setelah Indonesia merdeka maka historigrafi tersebut berubah menjadi historigrfai Indonesia sebagaimana yang berperan dalam penulisannya orang Indonesia sendiri.

D. Ciri-ciri Historiografi Kolonial
Ada beberapa ciri-ciri historiografi kolonial yang dapat lihat dari berbagai aspek antara lain:
a. Penulisannya oleh orang Belanda
b. Penulisannya menggunakan bahasa Belanda
c. Penulisannya dari sudut pandang Belanda/kolonial
d. Bentuk dari penulisan berupa laporan-laporan
e. Bersifat Eropa sentris atau lebih fokusnya Belanda sentris
f. Sumber penulisan dari arsip negara di Belanda dan Jakarta
g. Penulisan berupa memori tulisan serah jabatan atau laporan khusus kepada pemerintah pusat di Batavia mengenai kekuasaandan peluasan wilayah pejabat yang bersangkutan. Biasanya dilengkapi dengan data statistik dan pemetaan gambaran suatu daerah. 
h. Dalam penulisan suatu daerah jarang menggambarkan kondisi rakyat di tanah jajahan.
Berdasarkan beberapa keterangan di atas di dukung oleh para sejarawan Indonesia seperti Sartono Kartodirdjo, Mohammad Ali, Taufik Abdullah dan ada juga sejarawan dari luar seperti Van Leur.

E. Contoh dan Penulisan Historiografi Kolonial
Dalam penulisan historiografi kolonial identik dengan tulisan bahasa Belanda dan penulisan dilakukan oleh sejarawan atau orang-orang kolonial sendiri. Hal tersebut dapat dilihat dari beberapa contoh karangan orang Belanda sendiri seperti berikut:
1. Belanda Sentris
- J.K.J de Jonge. De opkomst van Nederland Gezag in oost Indie (1595-1814)
- J.E. Heeres dan F.W. Stapel. Corpus diplomaticus neerlando Indicum (1907-1955)
- F.W. Stapel (ED). Geschiedenis van Nederlandsch Indie (1931-1943)
2. Indonesia Sentris
- Y.C. Van Leur. ( Indonesian Trade and Society)
- Karya B.J.O . Schirecke (Indonesian Sociological Studies)
- Karya B.H.M. Viekke (Indonesian Society In Transition)
- Karya H.J.E. Graaf

F. Kelebihan dan Kekurangan Historiografi Kolonial
Dalam historiografi kolonial ada kelebihan dan ada kekurangan, hal dapat dilihat sebagai berikut:
1) Kelebihan Historiografi Kolonial
Historiografi kolonial tentu memberikan penguatan proses naturalisasi historiografi Indonesia. Terlepas dari subjektivitas yang melekat, sejarawan yang biasanya berorientasi pada fakta-fakta dan kejadian-kejadian. Kekayaan akan fakta sungguh mencolok, kemudian dalam pembicaraan mengenai historiografi Indonesia tidak dapa mengabaikan leteratur historoigrafi yang dihasilkan kolonial Belanda.
2) Kelemahan Historiogfai Kolonial
Secara kualitatif buku-buku yang dibuat oleh sejarawan kolonial hampir seluruhnya membahas tentang Gubermen dan pemerintahan kolonial Belanda dan orang-orang pribumi hanya sedikit. Tidak membahas pula cara berfikir orang-orang Indonesia dan berupaya meneliti seperti syair, hikayat, babad dan sejarah. Mereka juga malu bahan-bahan yang mereka buat di kritik dan selalu membenarkan apa yang mereka buat. Sedangkan secara kuantitatif sedikitnya karya-kaya tentang jatuhnya kolonial Belanda dan jumlah sumber yang terbuka terbatas. 

G.  Pertentangan Historiografi Kolonial
Sesuai dengan perkembangan zaman dalam penulisan sejarah di Indonesia semakin berkembang. Dalam historiografi kolonial lebih menekankan pada kehidupan orang-orang Belanda. Namun, sesuai dengan perkembangan zaman maka banyak yang menentang tentang historiografi kolonial karena di anggap banyak bertentangan dengan fakta yang terjadi selama kolonial Belanda di Indonesia, tidak hanya sampai disitu para sejarawan Indonesia juga kritis terhadap penulisan yang dibuat oleh orang-orang kolonial. Ada beberapa kritikan terhadap historiografi kolonial antara lain:
1. Dalam buku Kontowijoyo menjelaskan tentang karya Van Luer, karya-karya pada abad 18 banyak menjelaskan tentang perdagangan, peperangan, kerajaan, dan kota-kota yang ada dengan tanpa melihat kondisi bangsa Indonesia secara langsung. Ilmuwan ini memandang negara-negara Timur dari persfektif Barat. Hal inilah yang coba dibantahnya, ternyata apa yang digambarkan dalam karya-karya masa kolonial tidak sesuai dengan kenyataan. Minsalnya karya Dr. Godee Molsbergen yang mengemukakan bahwa VOC dalam abad kedelapan belas merupakan dari refleksi sejarah Belanda yang muncul menentukan kekuatan Eropa. Jadi dapat disimpulkan bahwa menurut Van Luer, penulisan masa kolonial banyak tidak sesuai dengan kenyataan (Nursam M, 2008).
2. Dalam makalah yang berjudul “Oral History; Menyajikan Arsip Terkini, Menjadikan Historiografi Lebih Manusiawi”, Penulis Reni Nuryanti Mahasiswa Jurusan Ilmu Sejarah FIB UGM 
3. Dalam Buku yang berjudul “Bukan 350 Tahun Di Jajah”, Penulis G.J Resink, Edisi 8-14 November 2012, diterbitkan Komunitas Bambu. Dalam buku yang tebalnya 366 halaman ini menjelaskan tentang sejarah mengenai kolonialisme Belanda di nusantara harus ditulis ulang. Sebagaimana selama ini, hampir semua buku sejarah, terutama buku ajaran di sekolah menyatakan bahwa Indonesia (Nusantara) mengalami penjajahan selama 366 tahun. Dalam penelitiannya Getrudes Johannes Resink yang seorang ahli hukum ini menggunakan pendekatan hukum internasional yang mana dengan mengumpulkan data-data dari dunia perundangan-undangan dan para ahli hukum sebagai dasar penelitian. 
Hasilnya dalam perundang-undangan tersebut menunjukkan banyak kerajaan-kerajaan dan negeri-negeri di Indonesia belum takluk di bawah cengkeraman tangan besi hukum Negara Belanda. Pasal 25 tahun 1836 dalam Peraturan Tata Pemerintahan Hindia Belanda  menyimpulkan bahwa disekitar kerajaan Hindia Belanda terdapat raja-raja Hindia yang merdeka, meskipun berjumlah sangat sedikit (Halaman 64). 
Walhasil, sebagaimana dikatakan oleh sejarawan Taufik Abdullah Resink “berjasa penting memperknalkan pendekatan umum internasional dalam menelaah sejarah kolonialisme dan kesimpulan dari penilitiannya kekuasaan Belanda yang dikatakan selama 350 tahun di Kepulauan Indonesia sebenarnya tak lebih dari mitos politik belaka yang tak bisa bertahan melawan ujian kebenaran sejarah.

Rabu, 17 September 2014

PHILOSOPICAL FOUNDATIONS OF CURRICULUM



A. Pengertian Filosofi
Mari kita mulai dengan filsafat. Filosofi kata adalah kombinasi dari kata Yunani "philos" (cinta) dan "sophia" (kebijaksanaan) yang diterjemahkan berarti "cinta akan kebijaksanaan". Para filsuf adalah orang-orang yang mencari hikmat dan ingin tahu tentang dunia yang ingin memahami hakikat segala sesuatu. Seringkali, hasil filsafat tidak begitu banyak mengedepankan filosofi baru atau proposisi tetapi membuat filosofi yang ada atau proposisi yang lebih jelas. Filsuf mempelajari karya-karya filsuf lain dan negara secara baru apa yang orang lain telah mengajukan serta mengusulkan filosofi baru. Seorang filsuf dapat menjadi orang yang tahu filsafat meskipun ia terlibat dalam sedikit atau tidak ada philosophising. Filsafat juga mengacu pada karya kolektif filsuf lain. Ini bisa berarti eksplorasi akademik berbagai pertanyaan yang diajukan oleh para filsuf.
Selama berabad-abad filsuf telah tertarik dengan konsep-konsep seperti moralitas, kebaikan, pengetahuan, kebenaran, keindahan dan eksistensi kita. Di antara pertanyaan filsuf tanyakan adalah:
1.        Apakah kebenaran itu ? Mengapa kita mengatakan pernyataan benar atau salah ?
2.        Bagaimana kita tahu apa yang kita ketahui ?
3.        Apakah kenyataan ? Hal-hal apa bisa menggambarkan sebagai nyata ?
4.        Apakah sifat pikiran dan berpikir ?
5.        Apa yang khusus tentang menjadi manusia ?
6.        Apakah ada sesuatu yang istimewa tentang menjadi hidup sama sekali ?
7.        Apakah etika ?
8.        Apa artinya ketika ada sesuatu yang benar atau salah; baik atau buruk ?
9.        Apakah kecantikan ?
10.    Bagaimana hal-hal indah berbeda dari orang lain ?
Filsuf menggunakan metode-metode tertentu penyelidikan. Mereka sering menyusun pertanyaan mereka sebagai masalah atau teka-teki tentang mata pelajaran yang mereka anggap menarik dan membingungkan. Secara populer, kata filsafat juga dapat merujuk kepada perspektif seseorang tentang kehidupan (filsafat hidup) atau prinsip-prinsip yang mendasari atau metode untuk mencapai sesuatu.
Berdasarkan beberapa definisi di atas filsafat memiliki arti karya kolektif dari sebuah filusuf, sedangkan filusuf yang menggunakan metode dalam berfilsafat dan filosifis mempunyai arti cinta akan kebijaksanaan. Jadi dapat disimpulkan bahwa filosofis adalah proposisi lama dan baru berdasarkan pendapat para filusuf.
B. Pengertian Kurikulum
Istilah kurikulum semula berasal dari istilah yang dipergunakan dalam dunia atletik curere yang berarti “berlari”. Istilah tersebut erat hubungannya dengan kata curier atau kurir yang berarti penghubung atau seseorang yang bertugas menyampaikan sesuatu kepada orang atau tempat lain. Seseorang  kurir harus menempuh suatu perjalanan untuk mencapai tujuan, maka istilah kurikulum kemudian diartikan orang sebagai “suatu jarak yang harus ditempuh” (S.Nasution, 1980:5).
Ada tafsiran mengenai kurikulum, tafsiran tersebut berbeda-beda oleh pakar-pakar dalam bidang pengembangan kurikulum. Istilah kurikulum berasal dari bahasa latin yakni “curriculae”, artinya jarak yang harus di tempuh oleh seorang pelari. Dengan kata lain kurikulum adalah jangka waktu pendidikan yang harus ditempuh oleh siswa yang bertujuan untuk memperoleh ijazah (Oemar Hamalik, 2001:16).
Menurut Subhandijah (1993) Kurikulum adalah alat untuk mencapai tujuan pendidikan. Dengan demikian, kurikulum merupakan alat penting dalam proses pendidikan. Sebagai alat penting untuk mencapai tujuan, kurikulum hendaknya berperan dan bersifat anticipatory dan adaptif terhadap perubahan dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Suatu kurikulum dianggap sebagai jembatan yang sangat penting untuk mencapai titik akhir dari suatu perjalanan dan di tandai oleh perolehan suatu ijazah tertentu. Beberapa tafsiran lainnya dikemukakan berikut ini:
a.    Kurikulum memuat isi dan materi pelajaran.
b.    Kurikulum sebagai rencana pembelajaran.
c.    Kurikulum sebagai pengalaman belajar.
Kurikulum disusun untuk mewujudkan tujuan nasional dengan memperhatikan tahap perkembangan peserta didik dan kesesuaiannya dengan lingkungan, kebutuhan pembangunan nasional, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta kesenian, sesuai dengan jenis dan jenjang masing-masing satuan pendidikan.
Berdasarkan beberapa teori diatas kurikulum merupakan syarat mutlak bagi pendidikan dan kurikulum merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari pendidikan dan pengajaran. Jadi dapat kita banyangkan, bagaimana bentuk pelaksanaan suatu pendidikan atau pengajaran di sekolah tidak memiliki kurikulum. Kurikulum mempunyai kedudukan sentral dalam seluruh proses pendidikan dan kurikulum mengarahkan segala aktivitas pendidikan. 
C. Pengertian Pendidikan
Pendidikan bagi sebagian besar orang, berarti berusaha membimbing anak untuk menyerupai orang dewasa, sebaliknya bagi Jean Piaget (1896) pendidikan berarti menghasilkan, mencipta, sekalipun tidak banyak, sekalipun suatu penciptaan di batasi oleh pembandingan dengan penciptaan yang lain. Menurut Jean Piaget dalam Syaiful Sagala (2009:1) pendidikan sebagai penghubung dua sisi, disatu sisi individu yang sedang tumbuh dan di sisi lain nilai sosial, intelektual, dan moral yang menjadi tanggung jawab pendidik untuk mendorong individu tersebut. Individu berkembang sejak lahir dan terus berkembang, perkembangan ini bersifat kausal. Namun, terdapat komponen normatif, juga karena pendidik menuntut nilai. Nilai ini adalah norma yang berfungsi sebagai penunjuk dalam mengindentifikasi apa yang diwajibkan, diperbolehkan, dan dilarang. Jadi pendidikan adalah hubungan normatif antara individu dan nilai.
Dalam UU RI No.2 Tahun 1989, bab 1, pasal 1,  Suatu rumusan nasional tentang istilah “pendidikan” adalah sebagai berikut: “pendidikan adalah usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, dan latihan bagi peranannya dimasa yang akan datang” (Oemar Hamalik, 2001: 2).
Pendidikan merupakan suatu ilmu terapan yaitu terapan dari ilmu atau disiplin lain terutama filsafat, psikologi, dan humanitas. Sebagai ilmu terapan perkembangan teori pendidikan berasal dari pemikiran-pemikiran filosofis teoretis, penelitian empiris dalam praktik pendidikan. Dengan latar belakang seperti itu beberapa ahli menyatakan bahwa ilmu pendidikan merupakan ilmu yang “belum jelas”. Hal itu diperkuat oleh kenyataan bahwa cukup sulit untuk dapat merumuskan teori pendidikan. Teori-teori pendidikan yang ada lebih menggambarkan pandangan filosofis, seperti teori pendidikan  Langeveld, Kohnstam, dan sebagainya atau lebih menekankan pengajaran seperti teori Gagne, Skinner, dan sebagainya (Nana Syaodih, 1999: 22).
Senada dengan pendapat di atas, pendidikan adalah salah satu bentuk perwujudan kebudayaan manusia yang dinamis dan sarat perkembangan. Oleh karena itu perubahan perkembangan pendididkan adalah hal yang seharusnya terjadi sejalan dengan perubahan kebudayaan. Perubahan dalam arti perbaikan pendidikan pada semua tingkat perlu terus menerus dilakukan sebagai antisipasi kepentingan masa depan dan tuntutan masyarakat modern (Sofan Amri, 2013:1)
Berdasarkan beberapa pendapat di atas, Oemar Hamalik (2013:88) menambahkan bahwa pendidikan adalah aktivitas dari kebudayaan dan merupakan aktivitas pembudayaan, disisi lain kebudayaan menjelmakan aktivitas, sistem, dan struktur pendidikan. Oleh karena itu, baik masyarakat tradisional maupun modern selalu mengandung unsur pendidikan yang berusaha memperkenalkan dan membawa masyarakat ke arah kebudayaannya. Pendidikan menjadi suatu instrumen untuk mentransmisikan kebudayaan kepada masyarakat dan generasi baru. selain itu, pendidikan juga bersifat mengawetkan kebudayaan, sehingga dapat membuat anak-anak menjadi manusia yang berbudaya.
D. Pengertian Filsafat Pendidikan
Sekarang, mari kita periksa cabang filsafat, yaitu; filsafat pendidikan. Apa filosofi pendidikan? Filsafat pendidikan adalah studi tentang pertanyaan seperti 'Apa itu pendidikan? " Apa tujuan pendidikan? “, “Apa artinya untuk mengetahui sesuatu?”, “Apa hubungan antara pendidikan dan masyarakat? "Filosofi pendidikan mengakui bahwa pengembangan masyarakat madani tergantung pada pendidikan kaum muda sebagai warga negara yang bertanggung jawab, bijaksana dan giat yang merupakan tugas yang menantang yang membutuhkan pemahaman mendalam tentang prinsip-prinsip etika, nilai-nilai moral, teori politik, estetika dan ekonomi; belum lagi pemahaman tentang anak-anak sendiri.
Sebagian besar filsuf terkemuka di 2000 tahun terakhir tidak filsuf pendidikan, tetapi memiliki beberapa titik dipertimbangkan dan ditulis pada filsafat pendidikan. Diantaranya adalah Plato, Aristoteles, Rousseau, Dewey, Adler, Konfusius, Al Farabi, Tagore dan banyak lainnya. Filsuf ini telah suara kunci dalam filsafat pendidikan dan telah memberikan kontribusi terhadap pemahaman dasar kita tentang apa pendidikan. Mereka juga telah menyediakan perspektif kritis yang kuat mengungkapkan masalah dalam pendidikan.
Adanya kegiatan pendidikan dalam masyarakat sebenarnya merupakan konsekuaensi jawaban manusia atas permasalahan. Timbulnya problem dan pikiran pemecahan itu adalah masalah filsafat, yaitu filsafat pndidikan. Hal itu berarti bahwa pendidikan adalah pelaksanaan ide-ide filsafat. Atau dengan kata lain, ide-ide filsafat yang memberi asas kepastian tentang pendidikan bagi pembinaan manusia. Jadi, peranan filsafat pendidikan bersumber atas asas filsafat pendidikan karena pada hakikatnya antara filsafat ddan pendidikan tidak dapat dipisahkan, karena filsafat pada satu pihak menetapkan ide-ide dan idelaisame, sedangkan pendidikan dipihak lain merupakan usaha merealisasikan ide-ide tersebut menjadi kenyataan, tindakan, dan tingkah laku (Burhan, 1993:25).
E. Filosofi dan Kurikulum
Apakah hubungan antara filsafat dan kurikulum? Sebagai contoh, ketika Anda mengusulkan pengajaran tubuh tertentu pengetahuan, kursus atau subjek, Anda akan diminta, "Apa filosofi Anda untuk memperkenalkan konten itu?" Jika Anda tidak dapat menjawab pertanyaan, Anda mungkin tidak dapat meyakinkan orang lain untuk menerima proposal Anda. Filsafat adalah titik awal dalam setiap pengambilan keputusan kurikulum dan merupakan dasar untuk semua keputusan selanjutnya mengenai kurikulum. Filsafat menjadi kriteria untuk menentukan tujuan, seleksi, organisasi dan pelaksanaan kurikulum di dalam kelas.
Filsafat membantu kita menjawab pertanyaan-pertanyaan umum seperti: 'Apa yang sekolah untuk' 'subyek Apa nilai', 'Bagaimana seharusnya siswa belajar isi' Hal ini juga membantu kita untuk menjawab tugas-tugas yang lebih tepat seperti memutuskan apa buku teks untuk digunakan? , bagaimana menggunakannya, apa pekerjaan untuk menetapkan dan berapa banyak, bagaimana untuk menguji dan menggunakan hasilnya.
“Di zaman modern ada pandangan yang bertentangan tentang praktek pendidikan. Tidak ada kesepakatan umum tentang apa yang muda harus belajar baik dalam kaitannya dengan kebajikan atau dalam kaitannya dengan kehidupan terbaik; juga tidak jelas apakah pendidikan mereka seharusnya lebih diarahkan intelek dibandingkan terhadap karakter jiwa. Dan itu tidak bisa dipastikan apakah pelatihan harus diarahkan pada hal-hal yang berguna dalam hidup, atau mereka yang kondusif untuk kebajikan, atau non-penting. Dan tidak ada kesepakatan seperti apa sebenarnya yang cenderung ke arah kebajikan. Pria tidak semua hadiah yang paling sangat kebajikan yang sama. Jadi secara alami mereka berbeda juga tentang pelatihan yang tepat untuk itu. "
Apakah Anda yakin bahwa pernyataan di atas ditulis lebih dari 2.000 tahun yang lalu oleh filsuf Yunani Aristoteles dan kami masih memperdebatkan masalah yang sama hari ini. Kadang-kadang orang bertanya-tanya apakah kita tahu apa yang kita inginkan! Kami meratapi miskin tingkat keterampilan dasar siswa dan panggilan untuk kembali ke dasar-dasar. Pada saat yang sama kita ingin siswa untuk mengembangkan keterampilan berpikir kritis dan panggilan untuk penekanan lebih rendah pada belajar hafalan. Selama berabad-abad, banyak filsafat pendidikan telah muncul, masing-masing dengan keyakinan mereka sendiri tentang pendidikan. Dalam bab ini, kita akan membahas empat filosofi, yaitu; Perennialisme, esensialisme, progresivisme dan Reconstructionism diusulkan oleh filsuf Barat. Juga, yang dibahas adalah sudut pandang dari tiga filsuf Timur; yaitu, al-Farabi, Tagore dan Konfusius. Masing-masing filsafat pendidikan diperiksa untuk melihat apa kurikulum diusulkan dan bagaimana pengajaran dan pembelajaran harus dilakukan.
Walaupun pemikiran filosofis dikenal dengan sebutan yang berbed, dan dalam sekolah juga terdapat falsafah pendidikan, pada umumnya terdapat empat falsafah yaitu:
1.      Perennialisme
a.      Apa itu perenialisme ?
Perennialismee, filsafat pendidikan tertua dan paling konservatif berakar pada filsafat Plato dan Aristoteles. Dua pendukung modern dari Perennialisme adalah Robert Hutchins dan Mortimer Adler. Perennialismee percaya bahwa manusia adalah rasional dan tujuan pendidikan adalah "untuk meningkatkan manusia sebagai manusia" (Hutchins, 1953). Jawaban atas semua pertanyaan pendidikan berasal dari jawaban atas satu pertanyaan: Apakah sifat manusia? Menurut mereka, sifat manusia adalah konstan dan manusia memiliki kemampuan untuk memahami kebenaran universal alam. Dengan demikian, tujuan pendidikan adalah untuk mengembangkan orang yang rasional dan untuk mengungkap kebenaran universal dengan melatih kecerdasan. Menuju mengembangkan satu makhluk moral dan spiritual, pendidikan karakter harus ditekankan.
Perennialisme didasarkan pada keyakinan bahwa beberapa ide telah berlangsung selama berabad-abad dan adalah sebagai relevan hari ini seperti ketika mereka pertama kali disusun. Ide-ide ini harus dipelajari di sekolah. Sebuah daftar 'Buku Besar' diusulkan meliputi topik dalam sastra, seni, psikologi, filsafat, matematika, ilmu pengetahuan, ekonomi, politik dan sebagainya. Contoh buku tersebut adalah: Robinson Crusoe ditulis oleh Daniel Defoe, Perang dan Damai ditulis oleh Leo Tolstoy, Moby Dick yang ditulis oleh Herman Melville, Euclid buku Elements pada geometri, buku Newton tentang Optik, Pencerahan Seksual Anak ditulis oleh Sigmund Freud, An penyelidikan atas Alam dan Penyebab dari Wealth of Nations Adam Smith dan banyak lainnya. Buku yang dipilih harus memiliki makna kontemporer, yaitu, itu harus relevan dengan masalah dan isu-isu masa kini. Buku ini harus dukung ide dan isu-isu yang telah menduduki pikiran berpikir individu dalam 2.000 tahun terakhir. Buku ini harus menarik orang untuk membacanya lagi dan lagi dan mendapatkan keuntungan dari itu. Para perennialists percaya bahwa ini adalah pemikir sejarah terbaik dan penulis. Ide-ide mereka yang mendalam dan bermakna bahkan hari ini seperti ketika mereka ditulis. Ketika siswa tenggelam dalam studi dari ide-ide yang mendalam dan abadi, mereka akan menghargai pembelajaran untuk kepentingan diri sendiri serta mengembangkan kekuatan intelektual dan kualitas moral.
b. Perenialisme Kurikulum
Berdasarkan keyakinan Perennialismee, kurikulum yang diusulkan memiliki karakteristik sebagai berikut:
Ø  Program 'Buku Besar' atau lebih sering disebut seni liberal akan mendisiplinkan pikiran dan menumbuhkan kecerdasan. Untuk membaca buku dalam bahasa aslinya, siswa harus belajar bahasa Latin dan Yunani. Siswa juga harus belajar tata bahasa, retorika, logika, matematika canggih dan filsafat (Hutchins, 1936).
Ø  Studi filsafat adalah bagian penting dari kurikulum perennialist. Ini karena mereka ingin siswa untuk menemukan ide-ide yang paling mendalam dan abadi dalam memahami kondisi manusia.
Ø  Pada waktu yang jauh lebih kemudian, Mortimer Adler (1982) dalam bukunya Proposal paideia, direkomendasikan kurikulum dasar dan menengah untuk semua siswa. The mendidik kurang beruntung harus menghabiskan beberapa waktu di pra-sekolah.
Ø  Perennialists tidak tertarik pada memungkinkan siswa untuk mengambil pilihan (kecuali bahasa kedua) seperti mata pelajaran kejuruan dan kehidupan-penyesuaian. Mereka berpendapat bahwa mata pelajaran ini membantah siswa kesempatan untuk sepenuhnya mengembangkan kekuatan rasional mereka.
Ø  Para perennialists mengkritik sejumlah besar informasi faktual terputus-putus yang pendidik diperlukan siswa untuk menyerap. Mereka mendesak bahwa guru harus menghabiskan lebih banyak waktu mengajar konsep dan menjelaskan bagaimana konsep-konsep ini bermakna bagi siswa.
Ø  Sejak, sejumlah besar pengetahuan ilmiah telah dihasilkan, pengajaran harus fokus pada proses yang kebenaran ilmiah telah ditemukan. Namun, perennialists menyarankan bahwa siswa tidak harus diajarkan informasi yang mungkin segera usang atau ditemukan tidak benar karena temuan-temuan ilmiah dan teknologi masa depan.
Ø  Pada tingkat menengah dan universitas, perennialists menentang ketergantungan pada buku teks dan ceramah dalam mengkomunikasikan ide-ide. Penekanan harus pada seminar guru-dipandu, di mana siswa dan guru terlibat dalam dialog; dan sesi saling pertanyaan untuk meningkatkan pemahaman tentang ide-ide besar dan konsep yang telah teruji waktu. Mahasiswa harus belajar untuk belajar, dan tidak dievaluasi
Ø  Universitas seharusnya tidak hanya mempersiapkan siswa untuk karir tertentu tetapi untuk mengejar pengetahuan untuk kepentingan diri sendiri. "Mahasiswa dapat belajar beberapa pohon, perennialists mengklaim, tetapi banyak akan cukup bodoh tentang hutan: pertanyaan filosofis abadi" (Hutchins, 1936)
Ø  Penalaran Pengajaran menggunakan 'Buku Besar' dari penulis Barat yang menganjurkan menggunakan metode Sokrates untuk mendisiplinkan pikiran siswa. Penekanan harus pada penalaran ilmiah daripada akuisisi fakta belaka. Mengajarkan ilmu tapi tidak teknologi, ide-ide besar daripada topik kejuruan.
Ø  Perennialists berpendapat bahwa topik buku besar menggambarkan masyarakat apapun, setiap saat, dan dengan demikian buku-buku yang sesuai untuk masyarakat Amerika. Siswa harus belajar mengenali kontroversi dan perbedaan pendapat dalam buku ini karena mencerminkan perbedaan pendapat yang nyata antara orang-orang. Siswa harus berpikir tentang perbedaan pendapat dan mencapai beralasan, kesimpulan dipertahankan.
Ø  Sekolah harus mengajarkan nilai-nilai atau etika agama. Perbedaan antara benar dan salah harus ditekankan sehingga siswa akan memiliki aturan yang pasti bahwa mereka harus mengikuti.
2.      Esensialisme
a.      Apa itu Esensialisme ?
Esensialisme berasal dari kata 'penting' yang berarti hal-hal yang utama atau dasar-dasar. Sebagai filsafat pendidikan, itu pendukung menanamkan pada siswa dengan "penting" atau "dasar" dari pengetahuan akademik dan pengembangan karakter. The esensialisme Istilah sebagai filsafat pendidikan awalnya dipopulerkan pada tahun 1930 oleh William Bagley dan kemudian pada tahun 1950 oleh Arthur Bestor dan Laksamana Rickover. Ketika pertama kali diperkenalkan sebagai filsafat pendidikan di sekolah-sekolah Amerika, itu dikritik sebagai terlalu kaku. Pada tahun 1957, Rusia meluncurkan Sputnik yang menyebabkan kepanikan di kalangan pendidikan sebagai orang Amerika merasa mereka telah jatuh di belakang Uni Soviet teknologi. Sebuah pemikiran ulang pendidikan diikuti yang menyebabkan minat esensialisme.
Esensialisme ini didasarkan pada filosofi konservatif yang berpendapat bahwa sekolah tidak harus mencoba untuk secara radikal membentuk kembali masyarakat. Sebaliknya, mereka harus mengirimkan nilai-nilai moral tradisional dan pengetahuan intelektual bahwa siswa perlu menjadi warga teladan. Essentialists percaya bahwa guru harus menanamkan kebajikan tradisional seperti menghormati otoritas, kesetiaan pada tugas, pertimbangan bagi orang lain dan kepraktisan. Esensialisme menempatkan pentingnya ilmu pengetahuan dan memahami dunia melalui eksperimen ilmiah. Untuk menyampaikan pengetahuan penting tentang dunia, pendidik esensialis menekankan instruksi dalam ilmu alam daripada disiplin non-ilmiah seperti filsafat atau perbandingan agama.
b.      Esensial Kurikulum
Berdasarkan keyakinan esensialisme, kurikulum yang diusulkan memiliki karakteristik sebagai berikut:
Ø  'dasar' dari kurikulum esensialis adalah matematika, ilmu pengetahuan alam, sejarah, bahasa asing, dan sastra. Esensialisme tidak menyetujui kejuruan, hidup-penyesuaian, atau program lain dengan "disiram turun" konten akademis.
Ø  siswa SD menerima instruksi dalam keterampilan seperti menulis, membaca, dan pengukuran. Bahkan sambil belajar seni dan musik (pelajaran yang paling sering dikaitkan dengan perkembangan kreativitas) mahasiswa diwajibkan untuk menguasai tubuh informasi dan teknik dasar, secara bertahap bergerak dari kurang keterampilan lebih kompleks dan pengetahuan rinci. Hanya dengan menguasai bahan yang dibutuhkan untuk tingkat kelas mereka adalah mahasiswa dipromosikan ke kelas yang lebih tinggi berikutnya.
Ø  Program esensialis yang akademis ketat, baik untuk peserta didik lambat dan cepat. Mata pelajaran umum untuk semua siswa tanpa memandang kemampuan dan minat. Tapi, berapa banyak yang harus dipelajari disesuaikan sesuai dengan kemampuan siswa.
Ø  UNDP mendukung hari lagi sekolah, tahun ajaran lama, dan buku teks yang lebih menantang. Essentialists mempertahankan bahwa ruang kelas harus berorientasi pada guru, yang berfungsi sebagai model peran intelektual dan moral bagi siswa.
Ø  Mengajar adalah berpusat pada guru dan guru memutuskan apa yang paling penting bagi siswa untuk belajar dengan sedikit penekanan pada minat siswa karena akan mengalihkan waktu dan perhatian dari belajar mata pelajaran akademik. Guru esensialis sangat fokus pada nilai tes prestasi sebagai sarana mengevaluasi kemajuan.
Ø  Dalam sebuah kelas esensialis, mahasiswa diajarkan untuk menjadi "melek budaya," yaitu, untuk memiliki pengetahuan kerja tentang orang-orang, peristiwa, gagasan, dan institusi yang telah membentuk masyarakat. Essentialists berharap bahwa ketika siswa meninggalkan sekolah, mereka akan memiliki tidak hanya keterampilan dasar dan pengetahuan yang luas, tetapi juga pikiran disiplin dan praktis, mampu menerapkan pengetahuan mereka dalam pengaturan dunia nyata.
Ø  Disiplin diperlukan untuk belajar sistematis dalam situasi sekolah. Siswa belajar untuk menghormati otoritas di kedua sekolah dan masyarakat.
Ø  Guru harus matang dan berpendidikan, yang tahu pelajaran mereka dengan baik dan dapat menularkan ilmunya kepada siswa.
3. Progresivisme
a. apa itu Progresivisme ?
Progresivisme adalah keyakinan filosofis yang berpendapat bahwa pendidikan harus didasarkan pada fakta bahwa manusia adalah dengan sifat sosial dan belajar terbaik dalam kegiatan nyata dengan orang lain. Orang yang paling bertanggung jawab atas progresivisme adalah John Dewey (1859-1952). Gerakan progresif mendorong sekolah-sekolah Amerika untuk memperluas kurikulum mereka, membuat pendidikan lebih relevan dengan kebutuhan dan minat siswa. Dewey banyak menulis tentang psikologi, epistemologi (asal pengetahuan), etika dan demokrasi. Tapi, filsafat pendidikan meletakkan dasar untuk progresivisme. Pada tahun 1896, sementara seorang profesor di University of Chicago, Dewey mendirikan Sekolah Laboratorium yang terkenal untuk menguji ide-ide pendidikannya. Tulisan-tulisannya dan bekerja dengan Sekolah Laboratorium mengatur panggung untuk gerakan pendidikan progresif.
Menurut Dewey, peran pendidikan adalah untuk mengirimkan identitas masyarakat dengan menyiapkan generasi muda untuk kehidupan dewasa. Dia adalah seorang advokat tajam demokrasi dan untuk itu untuk berkembang, ia merasa bahwa pendidikan harus memungkinkan peserta didik untuk mewujudkan kepentingan dan potensi mereka. Peserta didik harus belajar untuk bekerja dengan orang lain karena belajar dalam isolasi memisahkan pikiran dari tindakan. Menurutnya kemampuan dan keterampilan tertentu hanya dapat dipelajari dalam kelompok. Interaksi sosial dan intelektual melarutkan hambatan buatan ras dan kelas dengan mendorong komunikasi antara berbagai kelompok sosial (Dewey, 1920). Dia menggambarkan pendidikan sebagai proses pertumbuhan dan eksperimen di mana pikiran dan alasan diterapkan pada pemecahan masalah. Anak-anak harus belajar seolah-olah mereka adalah ilmuwan menggunakan metode ilmiah yang diusulkan oleh Dewey (1920):
1.      Untuk menyadari masalah (misalnya. Tanaman membutuhkan sinar matahari untuk tumbuh)
2.      Tentukan masalah (misalnya. Dapat tanaman tumbuh tanpa sinar matahari)
3.      Mengusulkan hipotesis untuk memecahkannya
4.      Uji hipotesis
5.      Mengevaluasi solusi terbaik untuk masalah Siswa harus terus bereksperimen dan memecahkan masalah; merekonstruksi pengalaman mereka dan menciptakan pengetahuan baru menggunakan mengusulkan lima langkah tersebut. Guru seharusnya tidak hanya menekankan drill dan praktek, tetapi harus mengekspos peserta didik untuk kegiatan yang berhubungan dengan dia situasi kehidupan nyata siswa, menekankan 'Belajar dengan melakukan'.
b. Progresif Kurikulum
Ø  Progressivists menekankan studi ilmu-ilmu alam dan sosial. Guru harus memperkenalkan siswa untuk perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan sosial yang baru. Untuk memperluas pengalaman pribadi peserta didik, pembelajaran harus berkaitan dengan menyajikan kehidupan masyarakat. Percaya bahwa orang belajar terbaik dari apa yang mereka anggap paling relevan dengan kehidupan mereka, kurikulum harus berpusat pada pengalaman, minat, dan kemampuan siswa.
Ø  Guru harus merencanakan pelajaran yang membangkitkan rasa ingin tahu dan mendorong siswa terhadap berpikir tingkat tinggi dan konstruksi pengetahuan. Misalnya, selain membaca buku teks, siswa harus belajar dengan melakukan seperti fieldtrips di mana mereka dapat berinteraksi dengan alam dan masyarakat.
Ø  Siswa didorong untuk berinteraksi satu sama lain dan mengembangkan kebajikan sosial seperti kerja sama dan toleransi untuk sudut pandang yang berbeda.
Ø  Guru tidak boleh terbatas pada berfokus pada satu disiplin ilmu yang pada suatu waktu tetapi harus memperkenalkan pelajaran yang menggabungkan beberapa mata pelajaran yang berbeda.
Ø  Siswa harus terkena kurikulum yang lebih demokratis yang mengakui prestasi seluruh warga tanpa memandang ras, latar belakang budaya atau jenis kelamin. Selain itu,
Ø  Dengan termasuk instruksi dalam seni industri dan ekonomi rumah tangga, progressivists berusaha untuk membuat sekolah menarik dan berguna. Idealnya, rumah, tempat kerja, dan sekolah berbaur bersama-sama untuk menghasilkan terus menerus, pengalaman belajar memenuhi dalam hidup. Ini adalah mimpi progresif yang suram, latihan kelas yang tampaknya tidak relevan bahwa begitu banyak orang dewasa ingat dari masa kanak-kanak suatu hari nanti akan menjadi sesuatu dari masa lalu. Siswa memecahkan masalah di kelas yang sama dengan yang akan mereka hadapi di luar sekolah.
4. Reconstructionism/Rekontruktivisme
a. Apa itu Reconstructionism ?
Reconstructionism adalah filosofi unik populer di AS selama tahun 1930-an melalui tahun 1960-an. Ini sebagian besar anak otak Theodore Brameld dari Columbia Teachers College. Dia mulai sebagai seorang komunis, tapi bergeser ke Reconstructionism. Reconstructionists reformasi mendukung dan berpendapat bahwa siswa harus diajarkan bagaimana untuk membawa perubahan. Reconstructionism adalah filsafat yang percaya dalam membangun kembali infrastruktur sosial dan budaya. Siswa belajar masalah sosial dan memikirkan cara-cara untuk memperbaiki masyarakat. Pendukung lain dari Reconstructionism adalah George Counts (1932) yang dalam pidato berjudul Dare Sekolah Membangun Tatanan Sosial Baru menyarankan agar sekolah menjadi agen perubahan sosial dan reformasi sosial. Siswa tidak mampu bersikap netral tetapi harus mengambil sikap.
Sebagian besar pendukung Reconstructionism sensitif terhadap ras, gender, etnis dan perbedaan status sosial ekonomi. Terkait dengan Reconstructionism adalah keyakinan lain yang disebut pedagogi kritis. Hal ini terutama pengajaran dan kurikulum teori, dirancang oleh Henry Giroux dan Peter McLaren, yang berfokus pada penggunaan sastra revolusioner dalam ruang kelas yang ditujukan untuk "pembebasan." Radikal dalam konsepsi, pedagogi kritis didasarkan pada ideologi Marxis yang mengadvokasi kesetaraan dalam distribusi kekayaan dan keras terhadap kapitalisme. Lebih Buruk reconstructionists seperti Paulo Freire dalam bukunya Pedagogi Kaum Tertindas (1968) menganjurkan pedagogi revolusioner bagi siswa miskin di mana orang dapat bergerak melalui berbagai tahap untuk akhirnya dapat mengambil tindakan dan mengatasi penindasan. Dia berpendapat bahwa orang harus menjadi peserta aktif dalam mengubah status mereka sendiri melalui tindakan sosial untuk mengubah mewujudkan keadilan sosial.
b. Rekonstruksionis Kurikulum
Ø  Dalam kurikulum rekonstruksionis, itu tidak cukup bagi siswa untuk hanya menganalisis menafsirkan dan mengevaluasi masalah-masalah sosial. Mereka harus berkomitmen untuk masalah yang dibahas dan didorong untuk mengambil tindakan untuk membawa perubahan konstruktif.
Ø  Kurikulum ini didasarkan pada isu-isu sosial dan ekonomi serta layanan sosial. Kurikulum harus melibatkan para siswa dalam analisis kritis dari masyarakat lokal, nasional dan internasional. Contoh masalah adalah kemiskinan, degradasi lingkungan, pengangguran, kejahatan, perang, penindasan politik, kelaparan, dll
Ø  Ada banyak ketidakadilan dalam masyarakat dan kesenjangan dalam hal ras, jenis kelamin, dan status sosial ekonomi. Sekolah wajib mendidik anak-anak terhadap resolusi ketidakadilan ini dan siswa tidak perlu takut untuk memeriksa isu-isu kontroversial. Siswa harus belajar untuk datang ke sebuah konsensus tentang isu-isu dan jadi kerja kelompok didorong.
Ø  Kurikulum harus terus berubah untuk memenuhi perubahan dalam masyarakat. Siswa menyadari isu-isu global dan saling ketergantungan antara bangsa-bangsa. Meningkatkan saling pengertian dan kerja sama global harus menjadi fokus dari kurikulum.
Ø  Guru dianggap sebagai agen utama perubahan sosial, pembaharuan budaya dan internasionalisme. Mereka didorong untuk menantang struktur usang dan dipercayakan dengan tugas mewujudkan tatanan sosial baru yang mungkin utopis di alam.
Ø  Secara umum, kurikulum menekankan ilmu-ilmu sosial (seperti sejarah, ilmu politik, ekonomi, sosiologi, agama, etika, puisi, dan filsafat), bukan ilmu.
F. Falsafah Negara Pancasila sebagai Dasar Pendidikan Nasional
            Pembangunan di bidang pendidikan didasarkan atas Falsafah Negara Pancasila dan di arahkan untuk membentuk manusia Indonesia yang sehat jasmani dan rohani, memiliki pengetahuan dan keterampilan, mampu mengembangkan kreativitas dan tanggung jawab, mampu mengembangkan kecerdasan yang tinggi dan disertai budi pekerti yang luhur, dan mencintai bangsa dan sesama manusia, sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Dasar 1945 (Oemar Hamalik, 2013: 65).
            Pancasila merupakan keperibadian dan pandangan hidup bangsa yang telah di uji kebenarannya, kemampuan dan kesaktiannya. Pendidikan nasional, sebagai bagian usaha membangun nasional dan usaha sangat penting dalam membentuk manusia Indonesia seperti yang dicita-citakan. Oleh karena itu, sistem pendidikan nasional harus berdasarkan Pancasila dan ditujukan ke arah pembentukan manusia yang Pancasilais.  

Sabtu, 03 Mei 2014

MANGKUNEGARAN 1896-1944 dan MODERNISASI DI JANTUNG BUDAYA JAWA


MODERNISASI DI JANTUNG BUDAYA JAWA
(MANGKUNEGARAN 1896-1944)

Oleh :
SUFANDI ISWANTO
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS SEBELAS MARET

Priode akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 bagi masyarakat Jawa merupakan masa yang penuh dengan perubahan. Perubahan itu hampir mencakup segala aspek kehidupan, baik politik, ekonomi maupun sosial budaya. Faktor yang mempengaruhi perubahan sosial salah satunya, perubahan tersebut yang sering dinamakan westernisasi (proses masuknya kebudayaan Barat). Westernisasi tidak berjalan muncul dengan tiba-tiba. Proses itu awalnya hanya pada kulit budaya dan masyarakat Jawa, dan secara bertahap masuk ke jantung pusat kekuasaan dan kebudayaan Jawa yang berakibat perubahannya saat ini.
Sebenarnya ada tiga fase pembebasan masuknya budaya Barat ke dalam masyarakat Jawa. Fase pertama merupakan fase pertama kontak antara VOC dan para raja dan sultan yang berlangsung pada abad ke-17. Fase kedua, yakni terjalinnya kontak antara VOC dan penguasa bumiputra yang lebih rendah, yaitu dengan para bupati. Fase ketiga adalah fase merembesnya kebudayaan Barat sampai pada masyarakat Jawa yang kemudian membawa dampak pada perubahan masyarakat dan kebudayaannya. Fase ketiga ini terjadi pada pertengahan abad dan akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20. Pada dua abad ini hubungan antara penduduk bumiputra dengan orang-orang barat semakin terbuka dan lebih intensif dibandingkan dengan abad-abad sebelumnya.
Sistem sosial dan sistem nilai budaya penduduk Jawa mengalami perubahan drastis sebagai akibat pengaruh Barat terasa pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, yakni sejak adanya kebijakan Tanam Paksa hingga Politik Etis. Sejak inilah orang Jawa sampai saat ini banyak mengenal tata pemerintahan, pemikiran, dan cara hidup orang orang Barat karena terlibat dalam masalah-masalah birokrasi, ekonomi dan pendidikan yang diperkenalkan oleh Pemerintahan Hindia Belanda (masa titik kulminasi pembaratan dalam tubuh masyarakat Jawa).
Dengan masuknya birokrasi Barat, jawa kini diperkenalkan sistem birokrasi Barat yang legal rasional sebagai pengganti birokrasi tradisional yang feodalistik. Namun pada kenyataannya malah timbul wajah lain dalam birokrasi di Jawa, yaitu terjadinya dualisme birokrasi, yakni di tingkat atas berlaku birokrasi yang legal rasional, sedangkan ditingkat bawah masih berlaku birokrasi tradisional. Dalam bidang ekonomi , dampak adanya proses westernisasi itu juga melahirnya ekonomi dualistik, yaitu suatu tanaman ekonomi yang berbelah dua, yakni ekonomi modern yang padat modal, dikelola menurut manajemen modern, dan menghasilkan produksi untuk ekspor di satu pihak serta ekonomi tradisional yang rentan modal, dikelola menurut manajemen tradisional, dan hanya menghasilkan barang-barang untuk subtensi. Yang termasuk kelompok pertama adalah industri-industri perkebunan swasta yang umumnya dikelola orang-orang Eropa dan Timur Asing, sedangkan kelompok kedua merupakan ekonomi dari masyarakat bumiputra yang pada umumnya berada pada daerah pedesaan.
Proses modernisasi dan westernisasi itu telah menimbulkan reaksi dari masyarakat bumiputra. Ada tiga kelompok yang menanggapi intervensi budaya Barat dan struktur masyarakat Jawa. Kelompok pertama adalah mereka yang menentang westernisasi dengan segala dampaknya karena dianggap mengguncangkan tanaman lama. Kelompok ini bersifat aktif dengan melakukan pemberontakan terhadap protes sosial, dan sebagainya, sedangkan yang bersifat pasif  minsalnya sindiran dari cara seni, lukisan dan karya sastra. Kelompok kedua mereka yang bersifat konformis dengan hadirnya budaya baru itu, tetapi tentap berprinsip pada gagasan-gagasan lama. Kelompok ketiga adalah mereka yang cenderung menjadi sama dengan Barat itu.
Pemerintahan kerajaan Jawa di Surakarta, termasuk Mangkunegara adalah kerajaan mangkunegaralah yang paling berhasil menyesuaikan diri dengan keadaan baru pada masa kolonial. Mangkunegara juga satu-satunya istana yang masih memelihara tradisi militer dari bangsawan Jawa meskipun dibawah kekuasaan Belanda. Legiun Mangkunegaran yang terdiri dari pasukan infanteri, kavaleri dan artileri, tetap dipertahankan dengan dukunga keungan Belanda. Mangkunegara juga mengembangkan perusahaan perkebunan secara luas, khususnya untuk komoditas kopi dan gula. Landasan kegiatan ekonomi modern ini telah diletakkan oleh Mangkunegara IV (1857-1881). Ia menerapkan teknik-teknik manajemen dan eksploitasi Eropa, tetapi dengan perbedaan yang penting bahwa keuntungannya di tanamkan kembali di daerah kekuasaannya daripada keluar negeri. Dia sedikit demi sedikit mengganti sistem apanage bagi para abdi dalem, diatur dengan sitem gaji. Proses modernisasi di Mangkunegara sesungguhnya telah dimulai oleh Mangkunegara IV (1857-1881). Modernisasi diutamakan dalam bidang ekonomi yang ditandai dengan berdirinya badan-badan usaha kerajaan sepertii pabrik gula, perkebunan kopi, dan sebagainya. Akan tetapi, hal itu mengalami kemandekan setelah Mangkunegara V berkuasa (1881-1896) karena menjadi krisis keuangan Praja Mangkunegaran. Ketika Mangkunegaran VI memegang tampuk pemerintahan (1896-1916), modernisasi itu diperlukan tidak hanya dalam lapangan ekonomi, tetapi meliputi segala bidang. Penggantinya, Mangkunegara VII (1916-1942), melanjutkan usaha-usaha modernisasi itu hingga membuat Mangkunegara sebagai kerajaan kecil yang memiliki tradisi yang lain dari kerajaan-kerajaan lain. Dengan meminjam konsep Romein bagi dunia Eropa, Mangkunegaran merupakan sebuah istana yang meyimpang dari pola umum kerajaan-kerajaan tradisional. Dengan kata lain pada masa itu orang menyebutnya sebagai demokratis, sebab Mangkunegaran merupakan satu-satunya kraton yang meniadakan hormat keraton jauh sebelum Pemerintahan Belanda memulainya, tetapi ada pula yang menyebutnya sebagai nasionalis.
Ada beberapa batasan mengenai perubahan sosial ini. Perubahan sosial secara konseptual dibedakan dengan perubahan budaya. Walaupun secara konseptual keduanya dapat dibedakan, dalam kenyataan sejarah keduanya saling berkaitan. Perubahan tersebut dapat bersumber dari faktor biologi, fisik, maupun faktor sosial budaya. Dari ketiga faktor tersebut, faktor budayalah yang paling bertanggung jawab untuk sebagian besar perubahan dalam masyarakat dan untuk perubahan yang cepat. Dalam menanggapi perubahan sosial sebagai akibat modernisasi dan westernisasi itu, para pengegeng Praja Mangkunegaran lebih bersikap inovatif. Dengan demikian mereka tidak menolak kehadiran budaya Barat tersebut, tetapi berusaha untuk mengadopsi nilai-nilai dan kebudayaan Barat yang dipandang baik untuk kemudian diolah sesuai dengan nilai-nilai kebudayaan Jawa, melaui kebijakan-kebijakan yang perlakukannya.
Pura Mangkunegaran semula didirikan oleh Raden Mas Said atau Pangeran Samber Nyawa yang kemudian bergelar Pangeran Adipati Mangkunegaran. Berdirinya pura ini sebagai akibat konflik-konflik perang perebutan takhta yang telah terjadi dalam masa sebelumnya. Konflik ini diawali dengan peristiwa yang disebut Geger Pacina yaitu pemberontakan orang-orang china di Batavia pada tahun 1740 yang kemudian menjalar ke sepanjang pantai utara Jawa hingga melibatkan para bangsawan Mataram, termasuk didalamnya Raden Said.
Dalam masa ini terjadi konflik karena kekuasaan antara Raden Mas Said dengan Pakubuwana yang melibatkan VOC dan Mangkubumi. Konflik ini juga asal mula Perjanjian Salatiga. Pada saat itu di Jawa Tengah berdiri sendiri-sendiri yaitu Kasunanan, Kasultanan, dan Mangkunegaran. Ditinjau secara politik, penerimaan Perjanjian Salatiga oleh Mas Said bisa dipandang sebagai gagalnya cita-cita semula dari Mas Said, yakni ingin menjadi raja yang dapat menguasai tanah Jawa. Sejak itu ia hanya bersetatus penguasa bawahan yang kedudukannya, baik secara politik maupun secara budaya, berada di bawah Kasunanan Surakarta. Meski demikian, sejak saat itu ia bukan lagi orang luar (outsider) dalam pencaturan politik di lingkungan Kerajaan Mataram Islam.
            Pada tahun 1772, Mangkunegaran mencoba melepaskan ketergantungannya kepada Sunan. Hal ini tidak berhasil, dan pada tahun 1774 Mangkunegaran minta kepada Kompeni agar putranya diizinkan menjadi penggantinya, tetapi permintaan ini di tolak. Tahun 1780 Mangkunegaran meminta hal serupa kemabali namun tetap gagal, walau pada saat itu hanya meminta pemberian gelar pada cucunya. Dengan demikian status apanage Mangkunegaran masih seperti semula yang tidak dapat di wariskan secara turun-temurun. Usaha perubahan apanage baru terlihat setelah tahun 1790. Ini diawali karena terjadinya ketegangan antara pihak Kasunan dan Kasultanan karena Kasunan menganggap posisinya lebih tinggi dari Kasultanan. Namun, setelah mendapat tawaran uang sejumlah 4.000 real setahun, ia menaati kompeni yang berpihak pada kepada Sultan dan bersedia menarik pasukannya kembali yang telah digelar di medan laga.
Pada tahun 1792, sejak di angkat cucu Mas Said menjadi ahli waris penguasa di Kadipaten Mangkunegaran. Dengan demikian, mulai saat itu status apanage Mangkunegaran telah berubah dari status precario menjadi pusat diwariskan secara turun-temurun. Penetapan ini termuat dalam piagam tanggal 14 Agustus 1792. Keberhasilan pihak Mangkunegaran dalam mengubah status apanage memang merupakan kemajuan akan tetapi ketergantungan pada Kompeni semakin tak terelakkan. Dari sinilah mulai diberlakukannya apanage menjadi diwariskan turun-temurun.
Sebagai salah satu bagian dari keempat swapraja, Mangkunegaran menempati wilayah di bagian timur dan utara Keresidenan Surakarata, tetapi daerahnya terpencar dibeberapa tempat, termasuk wilayah Kasunanan dan Kasultanan. Wilayah ini telah mengalami beberpa kali perubahan sejak berdirinya kerajaan itu. Pada saat itu luas wilayah kerajaan itu 4.000 karya. Luas wilayah dan batas-batas di bagi berdasarkan pada Piagam Salatiga 1757.
Adapun perbandingan luas wilayah Swapraja di Jawa Tengah antara lain yaitu Kasunanan Surakarta dengan luas wilayah 3.237,50 km2, Kasultanan Yogyakarta dengan luas 3.049,81 km2, Pura Mangkunegaran dengan luas 2.815,14 km2, dan Pura Paku Alam dengan luas 122,50 km2. Ibukotanya tidak terlalu luas, ibukota Mangkunegaran hanya seperlima dari seluruh wilayah Karesidenan Sukarta. Wilayah Mangkunegaran telah mengalami beberpa kali perubahan pembagian administrasi pemerintahan. Sebagian daerah dari Karesidenan Sukarta, pada umumnya daerah Mangkunegaran beriklim tropis, akibatnya dalam dua tahun ada dua pergantian musim.
Sebagai kelanjutan dari kerajaan Islam yaitu Mataram Islam, maka masyarakat Mangkunegaran termasuk masyarakat tradisonal. Dalam masyarakat seperti itu, tingkah laku rakyat dalam masyarakat bersifat ajek dan hampir-hampir tanpa perubahan, dan apabila ada perubahan, itu hanyalah sangat sedikit. Masyarakat juga bersifat kultural adapun ciricirinya pada masyarakat tradisional adalah teknologi yang sederhana, kaum elit memiliki pengetahuan terbatas, produksi lebih banyak dikerjakan dengan tenaga manusia dan hewan, bukan dengan mesin, sebagian pertanian tidak produktif, rabuk yang mereka gunakan rabuk alamiah. Akibatnya semua tergantung pada cuaca, sanitasi terbatas, pelayanan obat-obatan sangat sederhana, sehingga angka kelahiran dan kematian tinggi. Rakyat menerima itu semua karena kebodohan. Ciri-ciri demikian juga terdapat dalam masyarakat Mangkunegaran, terutama sebelum terjadinya modernisasi.
Dalam kebudayaan Jawa, masyarakat Mangkunegaran dikenal konsep hubungan kawula-gusti. Dalam masyarakat Mangkunegaran dikenal dua strata, yaitu panggede atau priayi (golongan penguasa) dan wong cilik (rakyat). Penggolongan ini di dasarkan pada pertuanan bukan karena dari segi ekonomi dan keunggulan kelahiran. Secara birokratis, dibawah Mangkunegaran adalah bupati patih (pada masa ini bupati hanya bersifat pribadi), dibawah bupatih ada para wedana dari berbagai departemen. Dibawah wedana terdapat para mantri (dalam departemen), dibawah para mantri ada terdapat pegawai rendahan yang terdiri dari juru tulis, pengurus kantor, juru timbang dan lain-lain.
Dalam suatu proses modernisasi, peranan elite pembaru sangatlah penting. Dalam suatu negara tradisional seperti Mangkunegaran, sebagian besar pembaharuan datangnya dari pusat kekuasaan. Sehungungan dengan hal itu, sorotan terhadap para elite pembaru dalam proses modernisasi itu merupakan suatu hal yang tidak dapat dikesampingkan. Modernisasi di Mangkunegaran sesungguhnya sudah dimulai sejak Sri Mangkunegara IV (1861-1881). Raja ini melakukan pembaharuan, terutama dalam bidang ekonomi dan pengembangan sejumlah badan usaha, terutama industri gula. Namun industri gula mengalami kebangkrutan setelah wafatnya raja ini akibatnya keuangan Praja dilanda krisis keuangan akibat salah urus oleh Mangkunegaran V dan badai krisis ekonomi dunia pada tahun 1880-an yang mengancam keberadaan industri gula sebagai tulang punggung ekonomi kerajaan.
Pada penghujung abad ke-19 kondisi perekonomian Praja Mangkunegaran mulai membaik. Hal ini terjadi akibat munculnya tokoh pembaru yang brilian dalam bidang ekonomi, yaitu Mangkunegaran VI. Membaiknya ekonomi praja memungkinkan modernisasi dalam bidang lain, seperti tata pemerintahan, etiket, pendidikan dan lain sebagainya. Pembaharuan ini dijalankan sejak Mangkunegara VI dan dilanjutkan oleh Mangkunegara VII.
Mangkunegara VI, nama kecilnya G.RM. Soejitno, merupakan putra keempat Mangkunegara IV dan garwa padmi (permaisuri). Lahir tanggal 13 Maret 1854 (17 Rajab 1785). Sebagai putra bangsawan ia hidup dengan berkecukupan, dan pada saat itu Praja Mangkunegaran dalam keadaan makmur. Mangkunegara IV hidup di istana dan mendapatkan pendidikan dari ayahnya yang meliputi ajaran etika, sejarah Mas Raden dalam berjuang, serta manajemen modern. Mangkunegara VI juga pernah di didik di sekolah Eropa ketika berumur 10 tahun, ia masuk ke sekolah rendah orang Eropa atau E.L.S (Europeesche Lagere School). Akan tetapi, pada akhirnya ayahnya mengeluarkannya dan memasukkan ia ke pendidikan Jawa yaitu Sekolah Pamong Siswa yang menggunakan bahasa Jawa. Namun kendati demikian karena pentingnya bahasa Belanda pada masa itu maka Mangkunegara IV tetap memberikan pendidikan bahasa Belanda dengan mengundang guru bahasa Belanda.
Pada umur 16 tahun Mangkunegara VI masuk dalam penddidikan militer. Ia masuk bagian infanteri, semula ia berpangkat prajurit biasa (flankeur), tetapi beberapa bulan kemudian di angkat menjadi bintara (onder officier) dengan pangkat sersan magang luar formasi. Karena prestasi penuh pada tahun 1874 ia diangkat menjadi prajurit penuh dengan pangkat letnan dua. Pada tahun 1874 yakni ia mendapat gelar Pangeran Handajaningrat dengan simbol payung kuning sebagai tanda kebesaran. Berdasarkan riwayat pendidikan dan pekerjaan Mangkunegara VI itu terlihat betapa luas pengalaman raja ini dalam dunia ketataprajaan. Tentu saja pengalaman hidup membentuk keperibadiannya saat itu sangat mewarnai tingkah lakunya dalam memimpin Mangkunegaran.
            Setelah Mangkunegara V (kakanya) wafat karena sakit, pada tanggal 2 Oktober 1896, atas usul K.B.R. Ayu Mangkunegara IV, ia diangkat menjadi kepala trah Mangkunegara dan Komandan Leguin Mangkunegaran dengan para kolonel, dengan gelar K.G.P.A.A. Mangkunegara VI. Pada saat itu ia harus mentandatangi surat Acte van Verband (akta pengikatan). Namun kali ini isi piagam tersebut berbeda dari paigam tersebutnya. Ketika naik takhta, ia dihapakan beberapa masalah yaitu adanya defisit keuangan praja yang berakibat hilangnya otonomi Praja Mangkunegara dalam pengelolaan keunagan negara, kemudian perubahan kebijakan politik Kolonial dari politik Kolonial Liberal ke politik Kolonial Etis, yang membawa dampak modernisasi lebih dalam di kalangan masyarakat Jawa dan kemudian masalah pilihan antara mengikuti kultur Barat dan Kultur Jawa dalam mengelola prajanya.
Sebagai kelanjutan dari kerajaan Mataram Islam, Praja Mangkunegaran telah memiliki tata pemerintahan dan tata hukum sejak ia berdiri. Tata pemerintahan dan tata hukum tersebut berakar dari tradisi kebudayaan Jawa yang bersumber dari nilai-nilai agama Islam dan Hindu-Buddha. Dalam perkembangannya, tata hukum dan tata pemerintahan mengalami perubahan. Hal ini sebagai konsekuensi losis suatu praja baru yang berusaha mencari identitas diri yang harus berada dengan Kasunanan Surakarta dan Kasulatanan Yogyakarta. Sumber gagasan baru tersebut berasal dari pemikiran dan tradisi orang Barat (Belanda). Tatanan Birokrasi sebagai suatu basis dari praja adalah kerajaan tradisional yakni Mataram Islam, sisa pengaruh birokrasi lama masih mewarnai kehidupan birokrasi Mangkunegaran. Akan tetapi, karena menganut politik hubungan dekat dengan Pemerintah Kolonial Belanda, birokrasi yang legal rasional itu berpengaruh terhadap tatanan pemerintahan di Mangkunegaran. Proses masuknya birokrasi Barat masuk secara bertahap.
Seiring dengan pembaharuan-pembaharuan dalm bidang perekonomian dan kebudayaan di Mangkunegaran, dinas-dinas baru mulai didirikan. Dengan adanya wewenang kepengurusan semua pasar di wilayah mangkunegaran oleh Praja Mangkunegaran, dibentuklah Kabupaten Parimpuna (Marktwewzen) pada tahun 1917. Pada masa ini juga di buat struktur organisasi pemerintahan untuk diperbaharui seperti Pemerintah Urusan Tanah, pejabat pemungut pajak, Pemerintah Leguin, dan Pemerintah Sekolah Desa.
Pembaharuan dalam etiket kenegaraan dalam sebuah kerajaan, etiket kenegaraan merujuk pada prilaku yang seharusnya diperbuat oleh indivindu-indivindu yang ada dalam lingkungan negara atau praja tersebut yang meliputi keluarga raja, aparat pemerintahan kerajaan, dan rakyat Mangkunegaran. Termasuk didalamnya tata cara bertemu dengan Mangkunegaran, serta tata kerama antara atasan dan bawahan. Dalam hal ini tata berpakaian di Mangkunegaran juga memiliki aturan seperti hal Mangkunegara memiliki pakaian dinas. Hanya dari berpakaian akan tetapi dari segi kedisiplinan juga mengalami perubahan tata kedisiplinan dalam sehari-hari.
Sedangkan untuk Hukum dan Peradilan di Mangkunegaran, semula Kadipaten Mangkunegaran tidak memiliki wewenang membuat hukum secara bebas. Sebab, secara tradisional, Kadipaten Mangkunegaran berada di bawah tata hukum Kasunanan. Namun pada tanggal 4 Oktober 1818 berdasarkan peraturan hukum Jawa itu 4 hukum yg dikondifikasikan maka dengan dilibatkannya Manguknegaran dalam hal itu maka Mangkunegaran berhak untuk membuat peraturannya sendiri dalam bidang hukum dengan mengacu pada keempat hukum yang telah dikondifikasikan tersebut.
Ketika Mangkunegara IV memegang tampuk pemerintahan, tanah-tanah apanage itu ditarik kembali dan dikuasai secara langsung oleh Praja Mangkunegaran. Para pemegang tanah apanage mulai saat itu digaji dengan uang, disesuaikan dengan luas lebar kecilnya tanah yang pernah dikuasai. Setelah tanah apanage dikuasai oleh Mangkunegara barulah diadakan pembaharuan-pembaharuan dalam pendapatan sumber pendapatan Praja Mangkunegaran. Praja tidak hanya menggantungkan diri pada pertanian tetapi membangun perusahaan-perusahaan atau industri seperti halnya yang dilakukan oleh Pemerintahan Hindia Belanda.
Perusahaan-perusahaan Mangkunegaran itu adalah perkebunan kopi, perkebunan tebu dan pabrik gula, padi boga, dan sebagainya. Pada kurun waktu 1871-1881, Praja Mangkunegaran menerima laba dari hasil  penjualan kopi sebesar f 13.873.149,97, atau f 1.261.195,45, suatu jumlah penerimaan yang cukup besar bagi sebuah pekerjaan tradisional. Pabrik gula Colomadu yang dibangun pada tahun 1861 dengan dana sekitar f 400.000, sedangkan untuk pabrik gula  Tasik Madu pada tahun 1871. Selain itu Mangkunegaran IV juga merintis sejumlah usaha ekonomi lain seperti perusahaan penggilingan padi di desa-desa kota Surakarta, percobaan penanaman tembakau di Wonogiri, hasilnya kurang memuaskan. Penanaman kina daerah Tawangmangu, tetapi gagal. Pemeliharaan ulat sutra di Tawangmangu tetapi gagal. Usaha persawahan di Demak, usaha tambak di Semarang dan rumah-rumah kontrak di kampung Pindrikan, Semarang.
Pembaharuan ini disatu sisi menguntungkan akan tetapi disatu sisi berdampak buruk, karena masuknya perekonomian Mangkunegaran ke pasar dunia bila pasar dunia sedang buruk maka dampaknya bagi ekonomi Mangkunegaran. Efek buruk tersebut terjadi, namun persedian dana masih cukup, roda pemerintahan tetap berjalan. Namun, setelah Mangkunegara IV meninggal dan digantikan oleh keturunanya, Mangkunegara V, keuangan Mangkunegaran sangat kacau dan mencapai tingkat defisit, sehingga terlibat banyak hutang pada Kolonial Belanda. Kehancuran ekonomi juga dipengaruhi rusaknya tanaman kopi dan tebu karena hama.
Kehancuran perekonomian dari Mangkunegaran V, kemudian pembaharuan dalam keuangan dan perekonomian Praja dilakukan oleh putra keempat Mangkunegara IV yaitu Mangkunegara VI. Ia mengawali pemabaharuan ekonomi dengan cara modern kemudian dilanjutkan oleh Mangkunegara VII dengan berbagai kebijakan dikeluarkannya pada priode akhir abad ke-19 hingga awal abad ke-20 yaitu pemisahan keuangan negara dengan keluarga, penghematan dan efesiensi, pengelolaan sumber-sumber keuangan negara secara modern, dan pemanfaatan keuangan secara efisien dan efektif.
Dalam pemerintahan Mangkunegara VII banyak kebijakan yang dikeluarkan dan ditetapkan seperti yang berkaitan dengan pemerintahan, politik penghematan yaitu baiaya dalam kerajaan dikurangi, hal ini dilakukan untuk penghematan. Namun kebijakan-kebijakan tersebut tidak diterima oleh keluarga Mangkunegara V yang dulunya merasakan berkecukupan, merasa tidak puas dan berusaha menumbangkan penguasa ini dengan cara mengadu pada Pemerintahan Belanda bahwa anak laki-laki Mangkunegara VI yang bernama R.M. Soejono bukan anak sah, karena ia lahir sebelum ibunya menikah dengan Mangkunegara VI. Mangkunegara VII memberikan banyak perubahan dari peraturan yang telah dibuatnya.
Jadi kesimpulan bahwa dengan adanya pembaharuan dalam tata keungan dan birokrasi pemerintahan, banyak dilakukan pembangunan bagi kesejahteraan masyarakat. Pembangunan yang paling tampak menonjol adalah irigasi (bendungan air/waduk-waduk) untuk pengairan sawah masyarakat. Jembatan dan jalan sebagai penghubung antara istana dan untuk menembus daerah-daerah terisolir. Pendidikan dan kebudayaan yaitu berdirinya sekolah-sekolah desa, H.I.S. Siswo, Sisworini dan sebagainya, kemudian pembaharuan budaya dengan cara mengembangkan lagi budaya khas Jawa yang dianggap sudah pudar yang dicerminkan lewat bahasa, kesenian, dan tradisi. Selain itu pembuatan pabrik gula untuk keperluan rakyat pada masa itu. Mangkunegara diakui sebagai Praja kecil akan tetapi berpengaruh terhadap masyarakat Indonesia pada masa sesudahnya, terutama setelah Indonesia Merdeka.

Sumber : Wasino. 2014. Modernisasi di Jantung Budaya Jawa (Mangkunegaran 1896-1944). Jakarta : Kompas.