Rabu, 02 September 2015

Contoh Abstrak Penelitian (R&D)


PENGEMBANGAN BAHAN AJAR SEJARAH LOKAL BERBASIS NILAI-NILAI SULAM KERAWANG GAYO UNTUK MENINGKATKAN KARAKTER BANGSA SISWA KELAS XI SMA NEGERI DI KABUPATEN BENER MERIAH

Sufandi Iswanto, Warto, Djono
Magister Pendidikan Sejarah Universitas Sebelas Maret

Abstrak

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan: (1) menganalisis bagaimana kondisi bahan ajar sejarah; (2) mendeskripsikan pengembangan bahan ajar sejarah lokal berbasis nilai-nilai sulam kerawang gayo guna meningkatkan karakter bangsa siswa; dan (3) mendeskripsikan keefektifan bahan ajar sejarah lokal berbasis nilai-nilai sulam kerawang gayo dalam meningkatkan karakter bangsa siswa.
Metode penelitian pengembangan (Research and Development/R&D) dari Borg and Gall digunakan dalam penelitian untuk menghasilkan bahan ajar. Tahap metode mencakup: (1) tahap studi pendahuluan, yakni studi literatur, studi lapangan, dan temuan kebutuhan bahan ajar; (2) tahap pengembangan, meliputi: desain prototype, validasi expert’s judgement, uji coba satu-satu serta revisi, dan uji coba luas; dan (3) tahap uji keefektifan, meliputi: menguji keefektifan dan kelayakan bahan ajar sejarah lokal.
Hasil yang diperoleh: (1) bahan ajar mengacu pada KTSP, terfokus pada satu buku teks tanpa ada pedamping maupun pengembangan bahan ajar, fasilitas sekolah terkait bahan ajar sejarah  masih minim, kurang memberikan materi tentang pendidikan karakter, dan guru terlalu mengejar waktu untuk menyelesaikan materi, sehingga perlu adanya bahan ajar dengan penekanan pada karakter bangsa; (2) bahan ajar sejarah lokal yang disusun berdasarkan enam komponen yang ditentukan, Silabus dan RPP, validasi tiga pakar memberikan nilai skor rata-rata 5 dengan kategori “sangat baik”, uji coba satu-satu dilakukan pada 5 siswa dan 13 siswa dengan nilai skor rata-rata 4,4 dengan kategori “sangat baik”, revisi yang hanya sebatas format penulisan; hasil uji coba luas menunjukkan adanya perbedaan nilai rata-rata antara kelompok eksperimen lebih meningkat dibandingkan kelompok kontrol baik dari prestasi maupun sikap karakter bangsa; dan (3) penerapan bahan ajar sejarah lokal berbasis nilai-nilai sulam kerawang gayo guna meningkatkan karakter bangsa terbukti efektif, terbukti dari nilai post test pada kelompok kontrol dan kelompok eksperimen, untuk hasil prestasi sebesar 0.005 < 0.025 dan sikap karakter bangsa sebesar 0.005 < 0.025 dengan demikian H0 ditolak jadi ada perbedaan yang positif dan signifikan.


Kata Kunci: Bahan Ajar, Sejarah Lokal, Nilai Sulam Kerawang Gayo, Karakter Bangsa.

Minggu, 23 Agustus 2015

Asal Mula Kerawang Gayo


Asal Mula Kerawang Gayo

Kerawang Gayo adalah nama sebutan terhadap motif-motif ukir pada suku Gayo Provinsi Aceh. Motif yang terdapat pada kayu bangunan rumah, bahan anyaman, gerabah, logam, dan kain merupakan kerawang. Dalam perkembangannya yang panjang, motif kerawang diukir juga pada gading, kayu dan disulam pada kain sebagai pelengkap rumah adat suku Gayo.

Secara harfiah, kata kerawang berasal dari dua kata yaitu “iker” yang berarti dasar buah pikiran, dan “rawang” yang berarti ramalan. Jadi Kerawang dapat diartikan ramalan sebuah pikiran pemagar adat.  Penambahan kata Gayo merupakan bentuk identitas dari suku Gayo yang bermukim di tanah Gayo.

Menurut kepercayaan masyarakat Gayo, kerawang memiliki cerita perkembangan yang amat panjang. Masyarakat suku Gayo meyakini bahwa kerawang sudah ada sejak nenek moyang suku bangsa Gayo bermukim di daerah tanah Gayo.  Nenek moyang suku bangsa Gayo adalah manusia-manusia yang berada di dataran tinggi atau pegunungan, hal ini yang sampai sekarang dari masyarakat setempat maupun masyarakat Aceh secara umum menyebutnya dataran tinggi Gayo. 

Sejarah kerawang Gayo bermula pada saat nenek moyang suku Gayo bermukim di Gayo. Dahulu pada awal perkembangannya, kerawang merupakan hasil buah pikiran dari para pemangku adat (tokoh-tokoh adat). Secara teliti dan cermat pemangku adat memikirkan dan meramalkan sebelum menetapkan simbol-simbol yang tepat untuk dibuat, ternyata hasil buah pikiran dan ramalan tersebut berbuah hasil sebuah motif-motif yang dianggap simbol-simbol yang kemudian disebut kerawang.

Pada awal mula perkembangannya simbol-simbol (kerawang) dituangkan pada kayu yang diambil dari alam sekeliling. Simbol yang diukir pada kayu dengan cara pahat tersebut dijadikan sebagai hiasan pada rumah masyarakat setempat. Pada saat itu masyarakat Gayo diperkirakan belum mengenal tulisan. Inilah yang menjadikan keunggulan suku bangsa Gayo, pada saat itu simbol-simbol kerawang difungsikan sebagai simbol-simbol yang meliliki makna tentang “tutunan dan tatanan” di berbagai aspek kehidupan masyarakat. Simbol yang dibuat juga bertujuan untuk kiranya suku Gayo tetap memegang pedoman pada simbol yang memiliki nilai-nilai tersebut dimanapun berada, terutama dalam bersikap dan berperilaku.

Sederetan simbol-simbol ternyata tidak berhenti pada sebatas ukiran pada kayu. Kemahiran yang dimiliki masyarakatnya pada saat itu menjadikan kreasi baru dimana simbol kerawang dituangkan pada seni anyam, dalam bahasa Gayo dikenal dengan munayu. Seni anyam lebih dominan dilakukan oleh para wanita untuk mengisi waktu yang luang. Tidak sulit untuk menemukan peralatan untuk anyaman kerawang, biasa benda yang digunakan dari tumbuhan air yang ada di alam sekitar, oleh masyarakat setempat menyebutnya kertan. Benda-benda anyaman yang dihasilkan berpariasi ada berupa alas (tikar), sentong (jenis kantong untuk penyimpanan nasi) dan tape (kantong untuk tempat bawaan pada acara adat). Pada dasarnya ada sedikit perbedaan simbol-simbol yang dibuat pada benda anyaman dengan kayu, dimana jika pada kayu motif berbentuk bundar tapi pada anyaman hanya bisa berupa simbol  motif yang berbentuk vertikal dan horizontal. Namun demikian simbol-simbol motif tersebut tidak menghilangkan nilai-nilai yang terkandung didalamnya.

Pengetahuan masyarakat kian hari semakin bertambah, nilai seni yang cukup tinggi menjadikan kerawang semakin berkembang pada berbagai benda. Peralatan untuk sehari-hari seperti keni (kendi), pragmen hias, gerabah, gading, perhiasan dan benda lainnya juga dibubuhi simbol-simbol (motif kerawang Gayo). Nenek moyang suku bangsa Gayo diketahui tinggal di dataran tinggi, dengan sistem mata pencaharian berladang. Sistem berladang merupakan andalan utama untuk memenuhi kebutuhan hidup, setiap harinya mereka pergi ke ladang. Dataran pegunungan yang didiami menjadikan mereka harus melawan dinginnya cuaca yang menusuk tulang. Dari sinilah sejarah asal mula seni sulam kerawang bermula di Gayo.

Pada awalnya nenek moyang bangsa Gayo menggunakan kulit kayu sebagai pelindung badan untuk melawan cuaca dingin. Sebelumnya mereka hanya mengandalkan api untuk malam hari dan waktu hujan, sedangkan pada siang hari mengandalkan sinar matahari. Api yang digunakan sebagai penghangat tubuh dimalam hari ternyata memberikan resiko yang cukup berbahaya. Dengan berpikir keras dan mendesak mereka mencari alternatif dan praktis, sehingga terbuatlah pakaian. Walaupun cukup sederhana yang berupa kulit kayu namun itu cukup ampuh untuk menahan dinginnya cuaca, selain dari kulit pohon, kulit hewan buruan juga dijadikan sebagai pakaian.

Pola pikir masyarakat yang kian lama makin berkembang ternyata membawa perubahan terhadap pakaian. Begitu juga pada masyarakat Gayo, dimana serat alam yang ada di sekitar dijadikan sebagai tenunan yang dibubuhi dengan sulaman simbol motif kerawang, dan inilah yang menjadikan kerawang lebih dikenal dengan sebutan sulam kerawang Gayo yang identik pada pakaian. Berbagai cara dan teknik dilakukan guna menghasilkan kreasi yang indah pada pakaian maupun kain, salah satu cara yang dilakukan dengan cara teknik tabour. Teknik ini menggunakan alat berupa jarum kail dan kayu, teknik ini biasa dilakukan oleh para pria.

Setelah ada kontak dengan masyarakat luar maka disusul juga dengan perkembangan daerah. Perkembangan daerah tersebut membawa masuk dan berkembangnya ajaran Islam yang memberikan perubahan besar baik terhadap budaya, sosial, dan ekonomi. Pengaruh islam tenyata berdampak terhadap kerawang Gayo, bentuk perpaduan budaya lokal yang berakulturasi dengan ajaran Islam pada saat itu menjadikan kerawang tidak menggunakan motif hewan dan manusia. Hal tersebut merupakan salah satu antisipasi terhadap penggunaan motif yang bisa bermakna syirik. Tidak heran jika sampai saat ini motif kerawang Gayo hanya menggunakan motif yang ada dilingkungan sekitar seperti tumbuhan dan awan.
Konsep yang melekat pada saat budaya Islam masuk dan berkembang di Gayo, kerawang Gayo merupakan benda yang langka. Berdasarkan sejarah dan asal mulanya menjadikan kerawang hanya dimiliki keluarga-keluarga tertentu saja seperti raja, imum, petue (sarak opat) dan kalangan tertentu dalam kalangan masyarakat. Sulitnya menemukan bahan untuk pembuatan kerawang menjadikan kerawang di anggap benda langka. Kerawang dianggap sebagai benda saklar (suci), karena penggunaannya hanya pada acara tertentu, seperti acara perkawinan, khitan, turun kesawah, hari-hari besar keagamaan, dan acara hiburan seperti didong maupun saman. Beragam macam kain diubah menjadi benda-benda yang menjadi benda saklar seperti Upuh ulen-ulen dan bebalun.

Perkembangan zaman membawa kerawang berkembang menjadikan perubahan terhadap konsep kesaklaran yang melekat pada kerawang. Sejak tahun 1904 saat Kolonial Belanda masuk dan membuka jalan ke Gayo menjadikan daerah Gayo berkembang. Perkembangan tersebut membawa perubahan pada kesaklaran kerawang, karena benda untuk membuat kerawang sendiri sudah mudah didapatkan dan dapat digunakan pada benda sehari-hari seperti sekarang ini.

Sumber: Modul Bahan Ajar Sejarah Lokal (Tesis: Pengembangan Bahan Ajar Sejarah Lokal Berbasis Nilai-Nilai Sulam Kerawang Gayo untuk Meningkatkan Karakter Bangsa Siswa Kelas XI SMA Negeri di Kabupaten Bener Meriah, Aceh)
Sufandi Iswanto. 2015. Program Magister Pendidikan Sejarah Pascasarjana Kependidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta.


Sabtu, 22 November 2014


"HISTORIOGRAFI KOLONIAL"

A. Pengertian Historiografi
Historiografi adalah hasil dari sebuah penulisan sejarah, dengan apa yang dituliskan itulah sejarah yaitu histoire-recite, dengan sebagaimana dikisahkan, mencoba menangkap dan memahami histoire-recite, sejarah sebagaimana terjadinya (Taufik Abdullah, 1985). Senada dengan itu, historiografi atau historiography adalah penulisan sejarah (Suhartono, 2010: 175).  Pola historiografi adalah struktur gagasan yang ditentukan terutama oleh realitas utama. Penyimpangan yang keterlaluan dari realitas utama yang diamati dari luar ketika, misalanya, meneliti historiografi Jawa, memberi kemungkinan bahwa historiografi tidak berakar pada kebutuhan untuk menggambarkan realitas tersebut (Mohammad Ali, 1995: 13).
Historiografi Indonesia dari masa dulu telah mengalami perkembangan. Bermula dari historiografi tradisional, historiografi kolonial, historiografi revolusi dan yang terakhir berkembang adalah historiografi modern. Setiap perkembangan historiografi memiliki karakteristik, metode, dan motivasi penulisan yang berbeda, beda satu dengan yang lain. Situasi dan kondisi politik sangat berpengaruh pada penulisan sejarah.
Dalam masalah karakteristik historiografi kolonial dengan historiografi lainnya adalah penulisan dilakukan oleh sejarawan atau orang-orang kolonial/barat. Maksud setiap pembuatan historiografi kolonial dimaksudkan untuk menjadi laporan pada pemerintahan kerajaan Belanda untuk dijadikan bahan evaluasi menentukan kebijakan pada daerah kolonial/jajahan. Dalam historiografi kolonial memiliki sifat yang memusatkan pada sejarah bangsa Belanda dalam perantauannya, baik dalam pelayaran maupun pemukimannya dalam benua lain. Jadi yang primer ialah riwayat perantauan atau kolonialisasi bangsa Belanda, sedangkan peristiwa-peristiwa sekitar bangsa Indonesia sendiri menjadi skunder.

B.  Historiografi Kolonial
Historiografi kolonial adalah sebuah penulisan sejarah yang terjadi pada waktu penjajahan Belanda di Indonesia. Historiografi kolonial ditulis oleh penulis-penulis dari Belanda. Sumber-sumber yang dipergunakan ialah dari arsip negara di Belanda dan Jakarta (Batavia), pada umumnya sumber-sumber dari Indonesia diabaikan. Menurut Mohammad Ali (1995: 7), Sejarah kolonial pada umumnya menjadi kebanggaan bangsa yang pernah menjadi penjajah. Informasi tentang hal ini tersedia dalam berbagai bentuk, dan karenanya siap dipelajari sehingga dapat diselidiki dalam bentuk tertentu.
Menurut Kuntowijoyo dalam Taufik Abdullah (1985), historiografi kolonial tidak lepas dari jeratan Neerlanddosentrisme dan kolonialsentisme yang berkesinambungan, melainkan juga memberi ruang yang jauh lebih besar pada mereka yang tertindas dan termajinalkan untuk memiliki hak atas sejarah. Terinspirasi oleh Sartono Kartodirdjo yang menghadirkan petani untuk merepresentasikan hak sejarah orang Indonesia yang terabaikan dalam historiografi kolonialsentris, Kuntowijoyo melalui tanggung jawab keagamaan dan sosialnya selalu berusaha menghadirkan kenyataan sejarah dari masa lalu masyarakat yang tidak mendapat tempat dalam historiografi Indonesia sebelumnya, termasuk tulisannya tentang sejarah Madura.
Sejalan dengan itu menurut Van Luer pada tahun 1934 menjelaskan seperti diketahui bahwa selama masa kolonialisme, sejarah Nusantara ditulis oleh orang-orang Eropa khususnya Belanda. Mereka menulis sejarah Nusantara dengan menggunakan perspektif mereka sendiri sebagai orang luar atau sebagai orang Eropa.  Oleh karena itu aktor-aktor sejarah Indonesia justru didominasi oleh pelaku-pelaku sejarah yang berkebangsaan Eropa (Singgih, 2014: 32). Pada masa kolonial penulisan sejarah sebagai laporan perjalanannya di tanah jajahan, jadi yang dituliskan hanyalah orang-orang barat di tanah jajahan dan menggunakan sukuisme dengan merendahkan tanah jajahan (Syahdan, 2012: 1).
Jadi dapat kita perjelas dalam historiografi kolonial yang menonjol adalah para kolonial Belanda, hal ini dikarenakan para penulisnya adalah orang-orang Belanda sendiri, dalam penulisan tampak tidak ada pembahasan masalah orang pribumi. 
C. Tradisi Asal Mula Historiografi Kolonial
Kapan dimulai tradisi historiografi kolonial Belanda di Indonesia merupakan hal yang penting di bahas. Priode yang menjadi kajian utaman kapan historiografi kolonial berkembang merupakan kajian para sejarawan. Kajian sejarawan menjelaskan bahwa peran sejarawan kolonial dalam historigrafi dimulai priode kolonial sejak kedatangan bangsa Eropa datang ke Indonesia. 
Dalam buku Jan Luiten van Zanden yang berjudul “Ekonomi Indonesia 1800-2010 Antara Drama dan Keajaiban Pertumbuhan (2012),  menjelaskan: terbentuknya Hindia Belanda pada tahun 1816 setelah pemerintahan Inggris di bawah Thomas Stamford Raffles mengembalikan pulau Jawa kepada pihak Belanda. Dalam pembahasan pertumbuhan ekonomi Indonesia, Jan Luiten banyak mengkaji tentang tanaman ekspor Belanda, keungan Belanda dan sebagainya merupakan salah satu bukti historiografi kolonial.
Dalam hal ini kebanyakan historiografi kolonial lebih banyak di tulis di Belanda dan penulisnya tidak pernah berkunjung ke Indonesia dan sejarah yang di tulis dalam bahasa istilah sejarah atas geladak kapal atau gudang-gudang loji. Selain itu yang menulis mendapatkan data-data dan informasi dari para pejabat pribumi dan pejabat kolonial ((http://clio1673.blogspot.com/2013/01/jc-van-leur-abad-ke-18-sebagai-kategori.html, diunduh pada Minggu 26 Mei 2013).
Historiografi kolonial berlangsung sampai tahun 1942 dimana sebelum Indonesia merdeka. Setelah Indonesia merdeka maka historigrafi tersebut berubah menjadi historigrfai Indonesia sebagaimana yang berperan dalam penulisannya orang Indonesia sendiri.

D. Ciri-ciri Historiografi Kolonial
Ada beberapa ciri-ciri historiografi kolonial yang dapat lihat dari berbagai aspek antara lain:
a. Penulisannya oleh orang Belanda
b. Penulisannya menggunakan bahasa Belanda
c. Penulisannya dari sudut pandang Belanda/kolonial
d. Bentuk dari penulisan berupa laporan-laporan
e. Bersifat Eropa sentris atau lebih fokusnya Belanda sentris
f. Sumber penulisan dari arsip negara di Belanda dan Jakarta
g. Penulisan berupa memori tulisan serah jabatan atau laporan khusus kepada pemerintah pusat di Batavia mengenai kekuasaandan peluasan wilayah pejabat yang bersangkutan. Biasanya dilengkapi dengan data statistik dan pemetaan gambaran suatu daerah. 
h. Dalam penulisan suatu daerah jarang menggambarkan kondisi rakyat di tanah jajahan.
Berdasarkan beberapa keterangan di atas di dukung oleh para sejarawan Indonesia seperti Sartono Kartodirdjo, Mohammad Ali, Taufik Abdullah dan ada juga sejarawan dari luar seperti Van Leur.

E. Contoh dan Penulisan Historiografi Kolonial
Dalam penulisan historiografi kolonial identik dengan tulisan bahasa Belanda dan penulisan dilakukan oleh sejarawan atau orang-orang kolonial sendiri. Hal tersebut dapat dilihat dari beberapa contoh karangan orang Belanda sendiri seperti berikut:
1. Belanda Sentris
- J.K.J de Jonge. De opkomst van Nederland Gezag in oost Indie (1595-1814)
- J.E. Heeres dan F.W. Stapel. Corpus diplomaticus neerlando Indicum (1907-1955)
- F.W. Stapel (ED). Geschiedenis van Nederlandsch Indie (1931-1943)
2. Indonesia Sentris
- Y.C. Van Leur. ( Indonesian Trade and Society)
- Karya B.J.O . Schirecke (Indonesian Sociological Studies)
- Karya B.H.M. Viekke (Indonesian Society In Transition)
- Karya H.J.E. Graaf

F. Kelebihan dan Kekurangan Historiografi Kolonial
Dalam historiografi kolonial ada kelebihan dan ada kekurangan, hal dapat dilihat sebagai berikut:
1) Kelebihan Historiografi Kolonial
Historiografi kolonial tentu memberikan penguatan proses naturalisasi historiografi Indonesia. Terlepas dari subjektivitas yang melekat, sejarawan yang biasanya berorientasi pada fakta-fakta dan kejadian-kejadian. Kekayaan akan fakta sungguh mencolok, kemudian dalam pembicaraan mengenai historiografi Indonesia tidak dapa mengabaikan leteratur historoigrafi yang dihasilkan kolonial Belanda.
2) Kelemahan Historiogfai Kolonial
Secara kualitatif buku-buku yang dibuat oleh sejarawan kolonial hampir seluruhnya membahas tentang Gubermen dan pemerintahan kolonial Belanda dan orang-orang pribumi hanya sedikit. Tidak membahas pula cara berfikir orang-orang Indonesia dan berupaya meneliti seperti syair, hikayat, babad dan sejarah. Mereka juga malu bahan-bahan yang mereka buat di kritik dan selalu membenarkan apa yang mereka buat. Sedangkan secara kuantitatif sedikitnya karya-kaya tentang jatuhnya kolonial Belanda dan jumlah sumber yang terbuka terbatas. 

G.  Pertentangan Historiografi Kolonial
Sesuai dengan perkembangan zaman dalam penulisan sejarah di Indonesia semakin berkembang. Dalam historiografi kolonial lebih menekankan pada kehidupan orang-orang Belanda. Namun, sesuai dengan perkembangan zaman maka banyak yang menentang tentang historiografi kolonial karena di anggap banyak bertentangan dengan fakta yang terjadi selama kolonial Belanda di Indonesia, tidak hanya sampai disitu para sejarawan Indonesia juga kritis terhadap penulisan yang dibuat oleh orang-orang kolonial. Ada beberapa kritikan terhadap historiografi kolonial antara lain:
1. Dalam buku Kontowijoyo menjelaskan tentang karya Van Luer, karya-karya pada abad 18 banyak menjelaskan tentang perdagangan, peperangan, kerajaan, dan kota-kota yang ada dengan tanpa melihat kondisi bangsa Indonesia secara langsung. Ilmuwan ini memandang negara-negara Timur dari persfektif Barat. Hal inilah yang coba dibantahnya, ternyata apa yang digambarkan dalam karya-karya masa kolonial tidak sesuai dengan kenyataan. Minsalnya karya Dr. Godee Molsbergen yang mengemukakan bahwa VOC dalam abad kedelapan belas merupakan dari refleksi sejarah Belanda yang muncul menentukan kekuatan Eropa. Jadi dapat disimpulkan bahwa menurut Van Luer, penulisan masa kolonial banyak tidak sesuai dengan kenyataan (Nursam M, 2008).
2. Dalam makalah yang berjudul “Oral History; Menyajikan Arsip Terkini, Menjadikan Historiografi Lebih Manusiawi”, Penulis Reni Nuryanti Mahasiswa Jurusan Ilmu Sejarah FIB UGM 
3. Dalam Buku yang berjudul “Bukan 350 Tahun Di Jajah”, Penulis G.J Resink, Edisi 8-14 November 2012, diterbitkan Komunitas Bambu. Dalam buku yang tebalnya 366 halaman ini menjelaskan tentang sejarah mengenai kolonialisme Belanda di nusantara harus ditulis ulang. Sebagaimana selama ini, hampir semua buku sejarah, terutama buku ajaran di sekolah menyatakan bahwa Indonesia (Nusantara) mengalami penjajahan selama 366 tahun. Dalam penelitiannya Getrudes Johannes Resink yang seorang ahli hukum ini menggunakan pendekatan hukum internasional yang mana dengan mengumpulkan data-data dari dunia perundangan-undangan dan para ahli hukum sebagai dasar penelitian. 
Hasilnya dalam perundang-undangan tersebut menunjukkan banyak kerajaan-kerajaan dan negeri-negeri di Indonesia belum takluk di bawah cengkeraman tangan besi hukum Negara Belanda. Pasal 25 tahun 1836 dalam Peraturan Tata Pemerintahan Hindia Belanda  menyimpulkan bahwa disekitar kerajaan Hindia Belanda terdapat raja-raja Hindia yang merdeka, meskipun berjumlah sangat sedikit (Halaman 64). 
Walhasil, sebagaimana dikatakan oleh sejarawan Taufik Abdullah Resink “berjasa penting memperknalkan pendekatan umum internasional dalam menelaah sejarah kolonialisme dan kesimpulan dari penilitiannya kekuasaan Belanda yang dikatakan selama 350 tahun di Kepulauan Indonesia sebenarnya tak lebih dari mitos politik belaka yang tak bisa bertahan melawan ujian kebenaran sejarah.

Rabu, 17 September 2014

PHILOSOPICAL FOUNDATIONS OF CURRICULUM



A. Pengertian Filosofi
Mari kita mulai dengan filsafat. Filosofi kata adalah kombinasi dari kata Yunani "philos" (cinta) dan "sophia" (kebijaksanaan) yang diterjemahkan berarti "cinta akan kebijaksanaan". Para filsuf adalah orang-orang yang mencari hikmat dan ingin tahu tentang dunia yang ingin memahami hakikat segala sesuatu. Seringkali, hasil filsafat tidak begitu banyak mengedepankan filosofi baru atau proposisi tetapi membuat filosofi yang ada atau proposisi yang lebih jelas. Filsuf mempelajari karya-karya filsuf lain dan negara secara baru apa yang orang lain telah mengajukan serta mengusulkan filosofi baru. Seorang filsuf dapat menjadi orang yang tahu filsafat meskipun ia terlibat dalam sedikit atau tidak ada philosophising. Filsafat juga mengacu pada karya kolektif filsuf lain. Ini bisa berarti eksplorasi akademik berbagai pertanyaan yang diajukan oleh para filsuf.
Selama berabad-abad filsuf telah tertarik dengan konsep-konsep seperti moralitas, kebaikan, pengetahuan, kebenaran, keindahan dan eksistensi kita. Di antara pertanyaan filsuf tanyakan adalah:
1.        Apakah kebenaran itu ? Mengapa kita mengatakan pernyataan benar atau salah ?
2.        Bagaimana kita tahu apa yang kita ketahui ?
3.        Apakah kenyataan ? Hal-hal apa bisa menggambarkan sebagai nyata ?
4.        Apakah sifat pikiran dan berpikir ?
5.        Apa yang khusus tentang menjadi manusia ?
6.        Apakah ada sesuatu yang istimewa tentang menjadi hidup sama sekali ?
7.        Apakah etika ?
8.        Apa artinya ketika ada sesuatu yang benar atau salah; baik atau buruk ?
9.        Apakah kecantikan ?
10.    Bagaimana hal-hal indah berbeda dari orang lain ?
Filsuf menggunakan metode-metode tertentu penyelidikan. Mereka sering menyusun pertanyaan mereka sebagai masalah atau teka-teki tentang mata pelajaran yang mereka anggap menarik dan membingungkan. Secara populer, kata filsafat juga dapat merujuk kepada perspektif seseorang tentang kehidupan (filsafat hidup) atau prinsip-prinsip yang mendasari atau metode untuk mencapai sesuatu.
Berdasarkan beberapa definisi di atas filsafat memiliki arti karya kolektif dari sebuah filusuf, sedangkan filusuf yang menggunakan metode dalam berfilsafat dan filosifis mempunyai arti cinta akan kebijaksanaan. Jadi dapat disimpulkan bahwa filosofis adalah proposisi lama dan baru berdasarkan pendapat para filusuf.
B. Pengertian Kurikulum
Istilah kurikulum semula berasal dari istilah yang dipergunakan dalam dunia atletik curere yang berarti “berlari”. Istilah tersebut erat hubungannya dengan kata curier atau kurir yang berarti penghubung atau seseorang yang bertugas menyampaikan sesuatu kepada orang atau tempat lain. Seseorang  kurir harus menempuh suatu perjalanan untuk mencapai tujuan, maka istilah kurikulum kemudian diartikan orang sebagai “suatu jarak yang harus ditempuh” (S.Nasution, 1980:5).
Ada tafsiran mengenai kurikulum, tafsiran tersebut berbeda-beda oleh pakar-pakar dalam bidang pengembangan kurikulum. Istilah kurikulum berasal dari bahasa latin yakni “curriculae”, artinya jarak yang harus di tempuh oleh seorang pelari. Dengan kata lain kurikulum adalah jangka waktu pendidikan yang harus ditempuh oleh siswa yang bertujuan untuk memperoleh ijazah (Oemar Hamalik, 2001:16).
Menurut Subhandijah (1993) Kurikulum adalah alat untuk mencapai tujuan pendidikan. Dengan demikian, kurikulum merupakan alat penting dalam proses pendidikan. Sebagai alat penting untuk mencapai tujuan, kurikulum hendaknya berperan dan bersifat anticipatory dan adaptif terhadap perubahan dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Suatu kurikulum dianggap sebagai jembatan yang sangat penting untuk mencapai titik akhir dari suatu perjalanan dan di tandai oleh perolehan suatu ijazah tertentu. Beberapa tafsiran lainnya dikemukakan berikut ini:
a.    Kurikulum memuat isi dan materi pelajaran.
b.    Kurikulum sebagai rencana pembelajaran.
c.    Kurikulum sebagai pengalaman belajar.
Kurikulum disusun untuk mewujudkan tujuan nasional dengan memperhatikan tahap perkembangan peserta didik dan kesesuaiannya dengan lingkungan, kebutuhan pembangunan nasional, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta kesenian, sesuai dengan jenis dan jenjang masing-masing satuan pendidikan.
Berdasarkan beberapa teori diatas kurikulum merupakan syarat mutlak bagi pendidikan dan kurikulum merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari pendidikan dan pengajaran. Jadi dapat kita banyangkan, bagaimana bentuk pelaksanaan suatu pendidikan atau pengajaran di sekolah tidak memiliki kurikulum. Kurikulum mempunyai kedudukan sentral dalam seluruh proses pendidikan dan kurikulum mengarahkan segala aktivitas pendidikan. 
C. Pengertian Pendidikan
Pendidikan bagi sebagian besar orang, berarti berusaha membimbing anak untuk menyerupai orang dewasa, sebaliknya bagi Jean Piaget (1896) pendidikan berarti menghasilkan, mencipta, sekalipun tidak banyak, sekalipun suatu penciptaan di batasi oleh pembandingan dengan penciptaan yang lain. Menurut Jean Piaget dalam Syaiful Sagala (2009:1) pendidikan sebagai penghubung dua sisi, disatu sisi individu yang sedang tumbuh dan di sisi lain nilai sosial, intelektual, dan moral yang menjadi tanggung jawab pendidik untuk mendorong individu tersebut. Individu berkembang sejak lahir dan terus berkembang, perkembangan ini bersifat kausal. Namun, terdapat komponen normatif, juga karena pendidik menuntut nilai. Nilai ini adalah norma yang berfungsi sebagai penunjuk dalam mengindentifikasi apa yang diwajibkan, diperbolehkan, dan dilarang. Jadi pendidikan adalah hubungan normatif antara individu dan nilai.
Dalam UU RI No.2 Tahun 1989, bab 1, pasal 1,  Suatu rumusan nasional tentang istilah “pendidikan” adalah sebagai berikut: “pendidikan adalah usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, dan latihan bagi peranannya dimasa yang akan datang” (Oemar Hamalik, 2001: 2).
Pendidikan merupakan suatu ilmu terapan yaitu terapan dari ilmu atau disiplin lain terutama filsafat, psikologi, dan humanitas. Sebagai ilmu terapan perkembangan teori pendidikan berasal dari pemikiran-pemikiran filosofis teoretis, penelitian empiris dalam praktik pendidikan. Dengan latar belakang seperti itu beberapa ahli menyatakan bahwa ilmu pendidikan merupakan ilmu yang “belum jelas”. Hal itu diperkuat oleh kenyataan bahwa cukup sulit untuk dapat merumuskan teori pendidikan. Teori-teori pendidikan yang ada lebih menggambarkan pandangan filosofis, seperti teori pendidikan  Langeveld, Kohnstam, dan sebagainya atau lebih menekankan pengajaran seperti teori Gagne, Skinner, dan sebagainya (Nana Syaodih, 1999: 22).
Senada dengan pendapat di atas, pendidikan adalah salah satu bentuk perwujudan kebudayaan manusia yang dinamis dan sarat perkembangan. Oleh karena itu perubahan perkembangan pendididkan adalah hal yang seharusnya terjadi sejalan dengan perubahan kebudayaan. Perubahan dalam arti perbaikan pendidikan pada semua tingkat perlu terus menerus dilakukan sebagai antisipasi kepentingan masa depan dan tuntutan masyarakat modern (Sofan Amri, 2013:1)
Berdasarkan beberapa pendapat di atas, Oemar Hamalik (2013:88) menambahkan bahwa pendidikan adalah aktivitas dari kebudayaan dan merupakan aktivitas pembudayaan, disisi lain kebudayaan menjelmakan aktivitas, sistem, dan struktur pendidikan. Oleh karena itu, baik masyarakat tradisional maupun modern selalu mengandung unsur pendidikan yang berusaha memperkenalkan dan membawa masyarakat ke arah kebudayaannya. Pendidikan menjadi suatu instrumen untuk mentransmisikan kebudayaan kepada masyarakat dan generasi baru. selain itu, pendidikan juga bersifat mengawetkan kebudayaan, sehingga dapat membuat anak-anak menjadi manusia yang berbudaya.
D. Pengertian Filsafat Pendidikan
Sekarang, mari kita periksa cabang filsafat, yaitu; filsafat pendidikan. Apa filosofi pendidikan? Filsafat pendidikan adalah studi tentang pertanyaan seperti 'Apa itu pendidikan? " Apa tujuan pendidikan? “, “Apa artinya untuk mengetahui sesuatu?”, “Apa hubungan antara pendidikan dan masyarakat? "Filosofi pendidikan mengakui bahwa pengembangan masyarakat madani tergantung pada pendidikan kaum muda sebagai warga negara yang bertanggung jawab, bijaksana dan giat yang merupakan tugas yang menantang yang membutuhkan pemahaman mendalam tentang prinsip-prinsip etika, nilai-nilai moral, teori politik, estetika dan ekonomi; belum lagi pemahaman tentang anak-anak sendiri.
Sebagian besar filsuf terkemuka di 2000 tahun terakhir tidak filsuf pendidikan, tetapi memiliki beberapa titik dipertimbangkan dan ditulis pada filsafat pendidikan. Diantaranya adalah Plato, Aristoteles, Rousseau, Dewey, Adler, Konfusius, Al Farabi, Tagore dan banyak lainnya. Filsuf ini telah suara kunci dalam filsafat pendidikan dan telah memberikan kontribusi terhadap pemahaman dasar kita tentang apa pendidikan. Mereka juga telah menyediakan perspektif kritis yang kuat mengungkapkan masalah dalam pendidikan.
Adanya kegiatan pendidikan dalam masyarakat sebenarnya merupakan konsekuaensi jawaban manusia atas permasalahan. Timbulnya problem dan pikiran pemecahan itu adalah masalah filsafat, yaitu filsafat pndidikan. Hal itu berarti bahwa pendidikan adalah pelaksanaan ide-ide filsafat. Atau dengan kata lain, ide-ide filsafat yang memberi asas kepastian tentang pendidikan bagi pembinaan manusia. Jadi, peranan filsafat pendidikan bersumber atas asas filsafat pendidikan karena pada hakikatnya antara filsafat ddan pendidikan tidak dapat dipisahkan, karena filsafat pada satu pihak menetapkan ide-ide dan idelaisame, sedangkan pendidikan dipihak lain merupakan usaha merealisasikan ide-ide tersebut menjadi kenyataan, tindakan, dan tingkah laku (Burhan, 1993:25).
E. Filosofi dan Kurikulum
Apakah hubungan antara filsafat dan kurikulum? Sebagai contoh, ketika Anda mengusulkan pengajaran tubuh tertentu pengetahuan, kursus atau subjek, Anda akan diminta, "Apa filosofi Anda untuk memperkenalkan konten itu?" Jika Anda tidak dapat menjawab pertanyaan, Anda mungkin tidak dapat meyakinkan orang lain untuk menerima proposal Anda. Filsafat adalah titik awal dalam setiap pengambilan keputusan kurikulum dan merupakan dasar untuk semua keputusan selanjutnya mengenai kurikulum. Filsafat menjadi kriteria untuk menentukan tujuan, seleksi, organisasi dan pelaksanaan kurikulum di dalam kelas.
Filsafat membantu kita menjawab pertanyaan-pertanyaan umum seperti: 'Apa yang sekolah untuk' 'subyek Apa nilai', 'Bagaimana seharusnya siswa belajar isi' Hal ini juga membantu kita untuk menjawab tugas-tugas yang lebih tepat seperti memutuskan apa buku teks untuk digunakan? , bagaimana menggunakannya, apa pekerjaan untuk menetapkan dan berapa banyak, bagaimana untuk menguji dan menggunakan hasilnya.
“Di zaman modern ada pandangan yang bertentangan tentang praktek pendidikan. Tidak ada kesepakatan umum tentang apa yang muda harus belajar baik dalam kaitannya dengan kebajikan atau dalam kaitannya dengan kehidupan terbaik; juga tidak jelas apakah pendidikan mereka seharusnya lebih diarahkan intelek dibandingkan terhadap karakter jiwa. Dan itu tidak bisa dipastikan apakah pelatihan harus diarahkan pada hal-hal yang berguna dalam hidup, atau mereka yang kondusif untuk kebajikan, atau non-penting. Dan tidak ada kesepakatan seperti apa sebenarnya yang cenderung ke arah kebajikan. Pria tidak semua hadiah yang paling sangat kebajikan yang sama. Jadi secara alami mereka berbeda juga tentang pelatihan yang tepat untuk itu. "
Apakah Anda yakin bahwa pernyataan di atas ditulis lebih dari 2.000 tahun yang lalu oleh filsuf Yunani Aristoteles dan kami masih memperdebatkan masalah yang sama hari ini. Kadang-kadang orang bertanya-tanya apakah kita tahu apa yang kita inginkan! Kami meratapi miskin tingkat keterampilan dasar siswa dan panggilan untuk kembali ke dasar-dasar. Pada saat yang sama kita ingin siswa untuk mengembangkan keterampilan berpikir kritis dan panggilan untuk penekanan lebih rendah pada belajar hafalan. Selama berabad-abad, banyak filsafat pendidikan telah muncul, masing-masing dengan keyakinan mereka sendiri tentang pendidikan. Dalam bab ini, kita akan membahas empat filosofi, yaitu; Perennialisme, esensialisme, progresivisme dan Reconstructionism diusulkan oleh filsuf Barat. Juga, yang dibahas adalah sudut pandang dari tiga filsuf Timur; yaitu, al-Farabi, Tagore dan Konfusius. Masing-masing filsafat pendidikan diperiksa untuk melihat apa kurikulum diusulkan dan bagaimana pengajaran dan pembelajaran harus dilakukan.
Walaupun pemikiran filosofis dikenal dengan sebutan yang berbed, dan dalam sekolah juga terdapat falsafah pendidikan, pada umumnya terdapat empat falsafah yaitu:
1.      Perennialisme
a.      Apa itu perenialisme ?
Perennialismee, filsafat pendidikan tertua dan paling konservatif berakar pada filsafat Plato dan Aristoteles. Dua pendukung modern dari Perennialisme adalah Robert Hutchins dan Mortimer Adler. Perennialismee percaya bahwa manusia adalah rasional dan tujuan pendidikan adalah "untuk meningkatkan manusia sebagai manusia" (Hutchins, 1953). Jawaban atas semua pertanyaan pendidikan berasal dari jawaban atas satu pertanyaan: Apakah sifat manusia? Menurut mereka, sifat manusia adalah konstan dan manusia memiliki kemampuan untuk memahami kebenaran universal alam. Dengan demikian, tujuan pendidikan adalah untuk mengembangkan orang yang rasional dan untuk mengungkap kebenaran universal dengan melatih kecerdasan. Menuju mengembangkan satu makhluk moral dan spiritual, pendidikan karakter harus ditekankan.
Perennialisme didasarkan pada keyakinan bahwa beberapa ide telah berlangsung selama berabad-abad dan adalah sebagai relevan hari ini seperti ketika mereka pertama kali disusun. Ide-ide ini harus dipelajari di sekolah. Sebuah daftar 'Buku Besar' diusulkan meliputi topik dalam sastra, seni, psikologi, filsafat, matematika, ilmu pengetahuan, ekonomi, politik dan sebagainya. Contoh buku tersebut adalah: Robinson Crusoe ditulis oleh Daniel Defoe, Perang dan Damai ditulis oleh Leo Tolstoy, Moby Dick yang ditulis oleh Herman Melville, Euclid buku Elements pada geometri, buku Newton tentang Optik, Pencerahan Seksual Anak ditulis oleh Sigmund Freud, An penyelidikan atas Alam dan Penyebab dari Wealth of Nations Adam Smith dan banyak lainnya. Buku yang dipilih harus memiliki makna kontemporer, yaitu, itu harus relevan dengan masalah dan isu-isu masa kini. Buku ini harus dukung ide dan isu-isu yang telah menduduki pikiran berpikir individu dalam 2.000 tahun terakhir. Buku ini harus menarik orang untuk membacanya lagi dan lagi dan mendapatkan keuntungan dari itu. Para perennialists percaya bahwa ini adalah pemikir sejarah terbaik dan penulis. Ide-ide mereka yang mendalam dan bermakna bahkan hari ini seperti ketika mereka ditulis. Ketika siswa tenggelam dalam studi dari ide-ide yang mendalam dan abadi, mereka akan menghargai pembelajaran untuk kepentingan diri sendiri serta mengembangkan kekuatan intelektual dan kualitas moral.
b. Perenialisme Kurikulum
Berdasarkan keyakinan Perennialismee, kurikulum yang diusulkan memiliki karakteristik sebagai berikut:
Ø  Program 'Buku Besar' atau lebih sering disebut seni liberal akan mendisiplinkan pikiran dan menumbuhkan kecerdasan. Untuk membaca buku dalam bahasa aslinya, siswa harus belajar bahasa Latin dan Yunani. Siswa juga harus belajar tata bahasa, retorika, logika, matematika canggih dan filsafat (Hutchins, 1936).
Ø  Studi filsafat adalah bagian penting dari kurikulum perennialist. Ini karena mereka ingin siswa untuk menemukan ide-ide yang paling mendalam dan abadi dalam memahami kondisi manusia.
Ø  Pada waktu yang jauh lebih kemudian, Mortimer Adler (1982) dalam bukunya Proposal paideia, direkomendasikan kurikulum dasar dan menengah untuk semua siswa. The mendidik kurang beruntung harus menghabiskan beberapa waktu di pra-sekolah.
Ø  Perennialists tidak tertarik pada memungkinkan siswa untuk mengambil pilihan (kecuali bahasa kedua) seperti mata pelajaran kejuruan dan kehidupan-penyesuaian. Mereka berpendapat bahwa mata pelajaran ini membantah siswa kesempatan untuk sepenuhnya mengembangkan kekuatan rasional mereka.
Ø  Para perennialists mengkritik sejumlah besar informasi faktual terputus-putus yang pendidik diperlukan siswa untuk menyerap. Mereka mendesak bahwa guru harus menghabiskan lebih banyak waktu mengajar konsep dan menjelaskan bagaimana konsep-konsep ini bermakna bagi siswa.
Ø  Sejak, sejumlah besar pengetahuan ilmiah telah dihasilkan, pengajaran harus fokus pada proses yang kebenaran ilmiah telah ditemukan. Namun, perennialists menyarankan bahwa siswa tidak harus diajarkan informasi yang mungkin segera usang atau ditemukan tidak benar karena temuan-temuan ilmiah dan teknologi masa depan.
Ø  Pada tingkat menengah dan universitas, perennialists menentang ketergantungan pada buku teks dan ceramah dalam mengkomunikasikan ide-ide. Penekanan harus pada seminar guru-dipandu, di mana siswa dan guru terlibat dalam dialog; dan sesi saling pertanyaan untuk meningkatkan pemahaman tentang ide-ide besar dan konsep yang telah teruji waktu. Mahasiswa harus belajar untuk belajar, dan tidak dievaluasi
Ø  Universitas seharusnya tidak hanya mempersiapkan siswa untuk karir tertentu tetapi untuk mengejar pengetahuan untuk kepentingan diri sendiri. "Mahasiswa dapat belajar beberapa pohon, perennialists mengklaim, tetapi banyak akan cukup bodoh tentang hutan: pertanyaan filosofis abadi" (Hutchins, 1936)
Ø  Penalaran Pengajaran menggunakan 'Buku Besar' dari penulis Barat yang menganjurkan menggunakan metode Sokrates untuk mendisiplinkan pikiran siswa. Penekanan harus pada penalaran ilmiah daripada akuisisi fakta belaka. Mengajarkan ilmu tapi tidak teknologi, ide-ide besar daripada topik kejuruan.
Ø  Perennialists berpendapat bahwa topik buku besar menggambarkan masyarakat apapun, setiap saat, dan dengan demikian buku-buku yang sesuai untuk masyarakat Amerika. Siswa harus belajar mengenali kontroversi dan perbedaan pendapat dalam buku ini karena mencerminkan perbedaan pendapat yang nyata antara orang-orang. Siswa harus berpikir tentang perbedaan pendapat dan mencapai beralasan, kesimpulan dipertahankan.
Ø  Sekolah harus mengajarkan nilai-nilai atau etika agama. Perbedaan antara benar dan salah harus ditekankan sehingga siswa akan memiliki aturan yang pasti bahwa mereka harus mengikuti.
2.      Esensialisme
a.      Apa itu Esensialisme ?
Esensialisme berasal dari kata 'penting' yang berarti hal-hal yang utama atau dasar-dasar. Sebagai filsafat pendidikan, itu pendukung menanamkan pada siswa dengan "penting" atau "dasar" dari pengetahuan akademik dan pengembangan karakter. The esensialisme Istilah sebagai filsafat pendidikan awalnya dipopulerkan pada tahun 1930 oleh William Bagley dan kemudian pada tahun 1950 oleh Arthur Bestor dan Laksamana Rickover. Ketika pertama kali diperkenalkan sebagai filsafat pendidikan di sekolah-sekolah Amerika, itu dikritik sebagai terlalu kaku. Pada tahun 1957, Rusia meluncurkan Sputnik yang menyebabkan kepanikan di kalangan pendidikan sebagai orang Amerika merasa mereka telah jatuh di belakang Uni Soviet teknologi. Sebuah pemikiran ulang pendidikan diikuti yang menyebabkan minat esensialisme.
Esensialisme ini didasarkan pada filosofi konservatif yang berpendapat bahwa sekolah tidak harus mencoba untuk secara radikal membentuk kembali masyarakat. Sebaliknya, mereka harus mengirimkan nilai-nilai moral tradisional dan pengetahuan intelektual bahwa siswa perlu menjadi warga teladan. Essentialists percaya bahwa guru harus menanamkan kebajikan tradisional seperti menghormati otoritas, kesetiaan pada tugas, pertimbangan bagi orang lain dan kepraktisan. Esensialisme menempatkan pentingnya ilmu pengetahuan dan memahami dunia melalui eksperimen ilmiah. Untuk menyampaikan pengetahuan penting tentang dunia, pendidik esensialis menekankan instruksi dalam ilmu alam daripada disiplin non-ilmiah seperti filsafat atau perbandingan agama.
b.      Esensial Kurikulum
Berdasarkan keyakinan esensialisme, kurikulum yang diusulkan memiliki karakteristik sebagai berikut:
Ø  'dasar' dari kurikulum esensialis adalah matematika, ilmu pengetahuan alam, sejarah, bahasa asing, dan sastra. Esensialisme tidak menyetujui kejuruan, hidup-penyesuaian, atau program lain dengan "disiram turun" konten akademis.
Ø  siswa SD menerima instruksi dalam keterampilan seperti menulis, membaca, dan pengukuran. Bahkan sambil belajar seni dan musik (pelajaran yang paling sering dikaitkan dengan perkembangan kreativitas) mahasiswa diwajibkan untuk menguasai tubuh informasi dan teknik dasar, secara bertahap bergerak dari kurang keterampilan lebih kompleks dan pengetahuan rinci. Hanya dengan menguasai bahan yang dibutuhkan untuk tingkat kelas mereka adalah mahasiswa dipromosikan ke kelas yang lebih tinggi berikutnya.
Ø  Program esensialis yang akademis ketat, baik untuk peserta didik lambat dan cepat. Mata pelajaran umum untuk semua siswa tanpa memandang kemampuan dan minat. Tapi, berapa banyak yang harus dipelajari disesuaikan sesuai dengan kemampuan siswa.
Ø  UNDP mendukung hari lagi sekolah, tahun ajaran lama, dan buku teks yang lebih menantang. Essentialists mempertahankan bahwa ruang kelas harus berorientasi pada guru, yang berfungsi sebagai model peran intelektual dan moral bagi siswa.
Ø  Mengajar adalah berpusat pada guru dan guru memutuskan apa yang paling penting bagi siswa untuk belajar dengan sedikit penekanan pada minat siswa karena akan mengalihkan waktu dan perhatian dari belajar mata pelajaran akademik. Guru esensialis sangat fokus pada nilai tes prestasi sebagai sarana mengevaluasi kemajuan.
Ø  Dalam sebuah kelas esensialis, mahasiswa diajarkan untuk menjadi "melek budaya," yaitu, untuk memiliki pengetahuan kerja tentang orang-orang, peristiwa, gagasan, dan institusi yang telah membentuk masyarakat. Essentialists berharap bahwa ketika siswa meninggalkan sekolah, mereka akan memiliki tidak hanya keterampilan dasar dan pengetahuan yang luas, tetapi juga pikiran disiplin dan praktis, mampu menerapkan pengetahuan mereka dalam pengaturan dunia nyata.
Ø  Disiplin diperlukan untuk belajar sistematis dalam situasi sekolah. Siswa belajar untuk menghormati otoritas di kedua sekolah dan masyarakat.
Ø  Guru harus matang dan berpendidikan, yang tahu pelajaran mereka dengan baik dan dapat menularkan ilmunya kepada siswa.
3. Progresivisme
a. apa itu Progresivisme ?
Progresivisme adalah keyakinan filosofis yang berpendapat bahwa pendidikan harus didasarkan pada fakta bahwa manusia adalah dengan sifat sosial dan belajar terbaik dalam kegiatan nyata dengan orang lain. Orang yang paling bertanggung jawab atas progresivisme adalah John Dewey (1859-1952). Gerakan progresif mendorong sekolah-sekolah Amerika untuk memperluas kurikulum mereka, membuat pendidikan lebih relevan dengan kebutuhan dan minat siswa. Dewey banyak menulis tentang psikologi, epistemologi (asal pengetahuan), etika dan demokrasi. Tapi, filsafat pendidikan meletakkan dasar untuk progresivisme. Pada tahun 1896, sementara seorang profesor di University of Chicago, Dewey mendirikan Sekolah Laboratorium yang terkenal untuk menguji ide-ide pendidikannya. Tulisan-tulisannya dan bekerja dengan Sekolah Laboratorium mengatur panggung untuk gerakan pendidikan progresif.
Menurut Dewey, peran pendidikan adalah untuk mengirimkan identitas masyarakat dengan menyiapkan generasi muda untuk kehidupan dewasa. Dia adalah seorang advokat tajam demokrasi dan untuk itu untuk berkembang, ia merasa bahwa pendidikan harus memungkinkan peserta didik untuk mewujudkan kepentingan dan potensi mereka. Peserta didik harus belajar untuk bekerja dengan orang lain karena belajar dalam isolasi memisahkan pikiran dari tindakan. Menurutnya kemampuan dan keterampilan tertentu hanya dapat dipelajari dalam kelompok. Interaksi sosial dan intelektual melarutkan hambatan buatan ras dan kelas dengan mendorong komunikasi antara berbagai kelompok sosial (Dewey, 1920). Dia menggambarkan pendidikan sebagai proses pertumbuhan dan eksperimen di mana pikiran dan alasan diterapkan pada pemecahan masalah. Anak-anak harus belajar seolah-olah mereka adalah ilmuwan menggunakan metode ilmiah yang diusulkan oleh Dewey (1920):
1.      Untuk menyadari masalah (misalnya. Tanaman membutuhkan sinar matahari untuk tumbuh)
2.      Tentukan masalah (misalnya. Dapat tanaman tumbuh tanpa sinar matahari)
3.      Mengusulkan hipotesis untuk memecahkannya
4.      Uji hipotesis
5.      Mengevaluasi solusi terbaik untuk masalah Siswa harus terus bereksperimen dan memecahkan masalah; merekonstruksi pengalaman mereka dan menciptakan pengetahuan baru menggunakan mengusulkan lima langkah tersebut. Guru seharusnya tidak hanya menekankan drill dan praktek, tetapi harus mengekspos peserta didik untuk kegiatan yang berhubungan dengan dia situasi kehidupan nyata siswa, menekankan 'Belajar dengan melakukan'.
b. Progresif Kurikulum
Ø  Progressivists menekankan studi ilmu-ilmu alam dan sosial. Guru harus memperkenalkan siswa untuk perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan sosial yang baru. Untuk memperluas pengalaman pribadi peserta didik, pembelajaran harus berkaitan dengan menyajikan kehidupan masyarakat. Percaya bahwa orang belajar terbaik dari apa yang mereka anggap paling relevan dengan kehidupan mereka, kurikulum harus berpusat pada pengalaman, minat, dan kemampuan siswa.
Ø  Guru harus merencanakan pelajaran yang membangkitkan rasa ingin tahu dan mendorong siswa terhadap berpikir tingkat tinggi dan konstruksi pengetahuan. Misalnya, selain membaca buku teks, siswa harus belajar dengan melakukan seperti fieldtrips di mana mereka dapat berinteraksi dengan alam dan masyarakat.
Ø  Siswa didorong untuk berinteraksi satu sama lain dan mengembangkan kebajikan sosial seperti kerja sama dan toleransi untuk sudut pandang yang berbeda.
Ø  Guru tidak boleh terbatas pada berfokus pada satu disiplin ilmu yang pada suatu waktu tetapi harus memperkenalkan pelajaran yang menggabungkan beberapa mata pelajaran yang berbeda.
Ø  Siswa harus terkena kurikulum yang lebih demokratis yang mengakui prestasi seluruh warga tanpa memandang ras, latar belakang budaya atau jenis kelamin. Selain itu,
Ø  Dengan termasuk instruksi dalam seni industri dan ekonomi rumah tangga, progressivists berusaha untuk membuat sekolah menarik dan berguna. Idealnya, rumah, tempat kerja, dan sekolah berbaur bersama-sama untuk menghasilkan terus menerus, pengalaman belajar memenuhi dalam hidup. Ini adalah mimpi progresif yang suram, latihan kelas yang tampaknya tidak relevan bahwa begitu banyak orang dewasa ingat dari masa kanak-kanak suatu hari nanti akan menjadi sesuatu dari masa lalu. Siswa memecahkan masalah di kelas yang sama dengan yang akan mereka hadapi di luar sekolah.
4. Reconstructionism/Rekontruktivisme
a. Apa itu Reconstructionism ?
Reconstructionism adalah filosofi unik populer di AS selama tahun 1930-an melalui tahun 1960-an. Ini sebagian besar anak otak Theodore Brameld dari Columbia Teachers College. Dia mulai sebagai seorang komunis, tapi bergeser ke Reconstructionism. Reconstructionists reformasi mendukung dan berpendapat bahwa siswa harus diajarkan bagaimana untuk membawa perubahan. Reconstructionism adalah filsafat yang percaya dalam membangun kembali infrastruktur sosial dan budaya. Siswa belajar masalah sosial dan memikirkan cara-cara untuk memperbaiki masyarakat. Pendukung lain dari Reconstructionism adalah George Counts (1932) yang dalam pidato berjudul Dare Sekolah Membangun Tatanan Sosial Baru menyarankan agar sekolah menjadi agen perubahan sosial dan reformasi sosial. Siswa tidak mampu bersikap netral tetapi harus mengambil sikap.
Sebagian besar pendukung Reconstructionism sensitif terhadap ras, gender, etnis dan perbedaan status sosial ekonomi. Terkait dengan Reconstructionism adalah keyakinan lain yang disebut pedagogi kritis. Hal ini terutama pengajaran dan kurikulum teori, dirancang oleh Henry Giroux dan Peter McLaren, yang berfokus pada penggunaan sastra revolusioner dalam ruang kelas yang ditujukan untuk "pembebasan." Radikal dalam konsepsi, pedagogi kritis didasarkan pada ideologi Marxis yang mengadvokasi kesetaraan dalam distribusi kekayaan dan keras terhadap kapitalisme. Lebih Buruk reconstructionists seperti Paulo Freire dalam bukunya Pedagogi Kaum Tertindas (1968) menganjurkan pedagogi revolusioner bagi siswa miskin di mana orang dapat bergerak melalui berbagai tahap untuk akhirnya dapat mengambil tindakan dan mengatasi penindasan. Dia berpendapat bahwa orang harus menjadi peserta aktif dalam mengubah status mereka sendiri melalui tindakan sosial untuk mengubah mewujudkan keadilan sosial.
b. Rekonstruksionis Kurikulum
Ø  Dalam kurikulum rekonstruksionis, itu tidak cukup bagi siswa untuk hanya menganalisis menafsirkan dan mengevaluasi masalah-masalah sosial. Mereka harus berkomitmen untuk masalah yang dibahas dan didorong untuk mengambil tindakan untuk membawa perubahan konstruktif.
Ø  Kurikulum ini didasarkan pada isu-isu sosial dan ekonomi serta layanan sosial. Kurikulum harus melibatkan para siswa dalam analisis kritis dari masyarakat lokal, nasional dan internasional. Contoh masalah adalah kemiskinan, degradasi lingkungan, pengangguran, kejahatan, perang, penindasan politik, kelaparan, dll
Ø  Ada banyak ketidakadilan dalam masyarakat dan kesenjangan dalam hal ras, jenis kelamin, dan status sosial ekonomi. Sekolah wajib mendidik anak-anak terhadap resolusi ketidakadilan ini dan siswa tidak perlu takut untuk memeriksa isu-isu kontroversial. Siswa harus belajar untuk datang ke sebuah konsensus tentang isu-isu dan jadi kerja kelompok didorong.
Ø  Kurikulum harus terus berubah untuk memenuhi perubahan dalam masyarakat. Siswa menyadari isu-isu global dan saling ketergantungan antara bangsa-bangsa. Meningkatkan saling pengertian dan kerja sama global harus menjadi fokus dari kurikulum.
Ø  Guru dianggap sebagai agen utama perubahan sosial, pembaharuan budaya dan internasionalisme. Mereka didorong untuk menantang struktur usang dan dipercayakan dengan tugas mewujudkan tatanan sosial baru yang mungkin utopis di alam.
Ø  Secara umum, kurikulum menekankan ilmu-ilmu sosial (seperti sejarah, ilmu politik, ekonomi, sosiologi, agama, etika, puisi, dan filsafat), bukan ilmu.
F. Falsafah Negara Pancasila sebagai Dasar Pendidikan Nasional
            Pembangunan di bidang pendidikan didasarkan atas Falsafah Negara Pancasila dan di arahkan untuk membentuk manusia Indonesia yang sehat jasmani dan rohani, memiliki pengetahuan dan keterampilan, mampu mengembangkan kreativitas dan tanggung jawab, mampu mengembangkan kecerdasan yang tinggi dan disertai budi pekerti yang luhur, dan mencintai bangsa dan sesama manusia, sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Dasar 1945 (Oemar Hamalik, 2013: 65).
            Pancasila merupakan keperibadian dan pandangan hidup bangsa yang telah di uji kebenarannya, kemampuan dan kesaktiannya. Pendidikan nasional, sebagai bagian usaha membangun nasional dan usaha sangat penting dalam membentuk manusia Indonesia seperti yang dicita-citakan. Oleh karena itu, sistem pendidikan nasional harus berdasarkan Pancasila dan ditujukan ke arah pembentukan manusia yang Pancasilais.