Minggu, 23 Agustus 2015

Asal Mula Kerawang Gayo


Asal Mula Kerawang Gayo

Kerawang Gayo adalah nama sebutan terhadap motif-motif ukir pada suku Gayo Provinsi Aceh. Motif yang terdapat pada kayu bangunan rumah, bahan anyaman, gerabah, logam, dan kain merupakan kerawang. Dalam perkembangannya yang panjang, motif kerawang diukir juga pada gading, kayu dan disulam pada kain sebagai pelengkap rumah adat suku Gayo.

Secara harfiah, kata kerawang berasal dari dua kata yaitu “iker” yang berarti dasar buah pikiran, dan “rawang” yang berarti ramalan. Jadi Kerawang dapat diartikan ramalan sebuah pikiran pemagar adat.  Penambahan kata Gayo merupakan bentuk identitas dari suku Gayo yang bermukim di tanah Gayo.

Menurut kepercayaan masyarakat Gayo, kerawang memiliki cerita perkembangan yang amat panjang. Masyarakat suku Gayo meyakini bahwa kerawang sudah ada sejak nenek moyang suku bangsa Gayo bermukim di daerah tanah Gayo.  Nenek moyang suku bangsa Gayo adalah manusia-manusia yang berada di dataran tinggi atau pegunungan, hal ini yang sampai sekarang dari masyarakat setempat maupun masyarakat Aceh secara umum menyebutnya dataran tinggi Gayo. 

Sejarah kerawang Gayo bermula pada saat nenek moyang suku Gayo bermukim di Gayo. Dahulu pada awal perkembangannya, kerawang merupakan hasil buah pikiran dari para pemangku adat (tokoh-tokoh adat). Secara teliti dan cermat pemangku adat memikirkan dan meramalkan sebelum menetapkan simbol-simbol yang tepat untuk dibuat, ternyata hasil buah pikiran dan ramalan tersebut berbuah hasil sebuah motif-motif yang dianggap simbol-simbol yang kemudian disebut kerawang.

Pada awal mula perkembangannya simbol-simbol (kerawang) dituangkan pada kayu yang diambil dari alam sekeliling. Simbol yang diukir pada kayu dengan cara pahat tersebut dijadikan sebagai hiasan pada rumah masyarakat setempat. Pada saat itu masyarakat Gayo diperkirakan belum mengenal tulisan. Inilah yang menjadikan keunggulan suku bangsa Gayo, pada saat itu simbol-simbol kerawang difungsikan sebagai simbol-simbol yang meliliki makna tentang “tutunan dan tatanan” di berbagai aspek kehidupan masyarakat. Simbol yang dibuat juga bertujuan untuk kiranya suku Gayo tetap memegang pedoman pada simbol yang memiliki nilai-nilai tersebut dimanapun berada, terutama dalam bersikap dan berperilaku.

Sederetan simbol-simbol ternyata tidak berhenti pada sebatas ukiran pada kayu. Kemahiran yang dimiliki masyarakatnya pada saat itu menjadikan kreasi baru dimana simbol kerawang dituangkan pada seni anyam, dalam bahasa Gayo dikenal dengan munayu. Seni anyam lebih dominan dilakukan oleh para wanita untuk mengisi waktu yang luang. Tidak sulit untuk menemukan peralatan untuk anyaman kerawang, biasa benda yang digunakan dari tumbuhan air yang ada di alam sekitar, oleh masyarakat setempat menyebutnya kertan. Benda-benda anyaman yang dihasilkan berpariasi ada berupa alas (tikar), sentong (jenis kantong untuk penyimpanan nasi) dan tape (kantong untuk tempat bawaan pada acara adat). Pada dasarnya ada sedikit perbedaan simbol-simbol yang dibuat pada benda anyaman dengan kayu, dimana jika pada kayu motif berbentuk bundar tapi pada anyaman hanya bisa berupa simbol  motif yang berbentuk vertikal dan horizontal. Namun demikian simbol-simbol motif tersebut tidak menghilangkan nilai-nilai yang terkandung didalamnya.

Pengetahuan masyarakat kian hari semakin bertambah, nilai seni yang cukup tinggi menjadikan kerawang semakin berkembang pada berbagai benda. Peralatan untuk sehari-hari seperti keni (kendi), pragmen hias, gerabah, gading, perhiasan dan benda lainnya juga dibubuhi simbol-simbol (motif kerawang Gayo). Nenek moyang suku bangsa Gayo diketahui tinggal di dataran tinggi, dengan sistem mata pencaharian berladang. Sistem berladang merupakan andalan utama untuk memenuhi kebutuhan hidup, setiap harinya mereka pergi ke ladang. Dataran pegunungan yang didiami menjadikan mereka harus melawan dinginnya cuaca yang menusuk tulang. Dari sinilah sejarah asal mula seni sulam kerawang bermula di Gayo.

Pada awalnya nenek moyang bangsa Gayo menggunakan kulit kayu sebagai pelindung badan untuk melawan cuaca dingin. Sebelumnya mereka hanya mengandalkan api untuk malam hari dan waktu hujan, sedangkan pada siang hari mengandalkan sinar matahari. Api yang digunakan sebagai penghangat tubuh dimalam hari ternyata memberikan resiko yang cukup berbahaya. Dengan berpikir keras dan mendesak mereka mencari alternatif dan praktis, sehingga terbuatlah pakaian. Walaupun cukup sederhana yang berupa kulit kayu namun itu cukup ampuh untuk menahan dinginnya cuaca, selain dari kulit pohon, kulit hewan buruan juga dijadikan sebagai pakaian.

Pola pikir masyarakat yang kian lama makin berkembang ternyata membawa perubahan terhadap pakaian. Begitu juga pada masyarakat Gayo, dimana serat alam yang ada di sekitar dijadikan sebagai tenunan yang dibubuhi dengan sulaman simbol motif kerawang, dan inilah yang menjadikan kerawang lebih dikenal dengan sebutan sulam kerawang Gayo yang identik pada pakaian. Berbagai cara dan teknik dilakukan guna menghasilkan kreasi yang indah pada pakaian maupun kain, salah satu cara yang dilakukan dengan cara teknik tabour. Teknik ini menggunakan alat berupa jarum kail dan kayu, teknik ini biasa dilakukan oleh para pria.

Setelah ada kontak dengan masyarakat luar maka disusul juga dengan perkembangan daerah. Perkembangan daerah tersebut membawa masuk dan berkembangnya ajaran Islam yang memberikan perubahan besar baik terhadap budaya, sosial, dan ekonomi. Pengaruh islam tenyata berdampak terhadap kerawang Gayo, bentuk perpaduan budaya lokal yang berakulturasi dengan ajaran Islam pada saat itu menjadikan kerawang tidak menggunakan motif hewan dan manusia. Hal tersebut merupakan salah satu antisipasi terhadap penggunaan motif yang bisa bermakna syirik. Tidak heran jika sampai saat ini motif kerawang Gayo hanya menggunakan motif yang ada dilingkungan sekitar seperti tumbuhan dan awan.
Konsep yang melekat pada saat budaya Islam masuk dan berkembang di Gayo, kerawang Gayo merupakan benda yang langka. Berdasarkan sejarah dan asal mulanya menjadikan kerawang hanya dimiliki keluarga-keluarga tertentu saja seperti raja, imum, petue (sarak opat) dan kalangan tertentu dalam kalangan masyarakat. Sulitnya menemukan bahan untuk pembuatan kerawang menjadikan kerawang di anggap benda langka. Kerawang dianggap sebagai benda saklar (suci), karena penggunaannya hanya pada acara tertentu, seperti acara perkawinan, khitan, turun kesawah, hari-hari besar keagamaan, dan acara hiburan seperti didong maupun saman. Beragam macam kain diubah menjadi benda-benda yang menjadi benda saklar seperti Upuh ulen-ulen dan bebalun.

Perkembangan zaman membawa kerawang berkembang menjadikan perubahan terhadap konsep kesaklaran yang melekat pada kerawang. Sejak tahun 1904 saat Kolonial Belanda masuk dan membuka jalan ke Gayo menjadikan daerah Gayo berkembang. Perkembangan tersebut membawa perubahan pada kesaklaran kerawang, karena benda untuk membuat kerawang sendiri sudah mudah didapatkan dan dapat digunakan pada benda sehari-hari seperti sekarang ini.

Sumber: Modul Bahan Ajar Sejarah Lokal (Tesis: Pengembangan Bahan Ajar Sejarah Lokal Berbasis Nilai-Nilai Sulam Kerawang Gayo untuk Meningkatkan Karakter Bangsa Siswa Kelas XI SMA Negeri di Kabupaten Bener Meriah, Aceh)
Sufandi Iswanto. 2015. Program Magister Pendidikan Sejarah Pascasarjana Kependidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta.


1 komentar: